Digital Date Time Clock

Selasa, 06 Januari 2015

Tugas - TEORI KEAGENAN (AGENCY THEORY) DAN MANAJEMEN LABA

Pengertian Manajemen Laba
            Earning Management terjadi ketika para manajer menggunakan keputusannya dalam pelaporan keuangan dan dalam melakukan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, baik untuk menimbulkan gambaran yang salah bagi stakeholders tentang kinerja ekonomis perusahaan maupun untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. (Healy dan Wahlen : 1999).
            Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen laba dalam arti yang berbeda-beda. Menurut Sulistyanto (2008) dalam Okta (2010) terdapat beberapa definisi mengenai manajemen laba (earnings management) yaitu:
1.       Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi (Schipper ,1989).
2.       Manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau mempengaruhi akibat-akibat perjanjian yang mempunyai kaitan dengan angka-angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan (Healy & Wahlen ,1999).

Praktek Manajemen Laba
Praktek manajemen laba dapat ditinjau dari dua perspektif yang berbeda, yaitu:
a.       Etika Bisnis
Didalam etika, dapat dianalisis sebab-sebab manajer melakukan manajemen laba.
b.      Teori Akuntansi Positif
Didalam teori ini, dapat dianalisis dan diidentifikasikan berbagai bentuk praktek manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan.
            Tinjauan etika manajemen laba yang dilihat dari sudut pandang teori akuntansi positif dapat dijelaskan melalui teori kontrak (contracting theory). Godfrey, Hodgson dan Holmes (1997) menjelaskan bahwa riset dan teori akuntansi positif didasarkan pada asumsi mengenai perilaku individu yang terlibat dalam proses kontrak. Proses kontrak tersebut menghasilkan hubungan keagenan (agency relationship). Hubungan keagenan muncul ketika salah satu pihak (principal) mengontrak pihak lain (agen) untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh principal. Dengan kontrak tersebut, principal mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Baik principal maupun agen, kedua-duanya adalah utility maximizer, maka tidak ada alasan yang dapat diyakini bahwa agen akan selalu bertindak untuk kepentingan principal. Masalah keagenan (agency problem) muncul karena adanya perilaku oportunis dari agen, yaitu perilaku manajemen (agen) untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal dan akhirnya menjadi insentif bagi manajer untuk melakukan manajemen laba.

Teori Keagenan (Agency Theory) dan Manajemen Laba
            Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota perusahaan, terutama hubungan antara pemilik (prinsipal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu orang atau lebih pemilik (prinsipal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Michelson et al (1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (prinsipal). Pemilik akan mendelegasikan tanggungjawab kepada manajemen, dan manajemen setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan pemilik.
            Prinsipal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang mempunyai rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Hal ini disebabkan agent juga memiliki kepentingan memaksimalkan kesejahteraannya. Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi hasil sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi agen untuk berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi sesuai dengan harapan prinsipal sehingga dapat meningkatkan kepercayaan prinsipal kepada agen (Faozi, 2002).
            Dalam hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah jika terdapat informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (1997) menyatakan apabila beberapa pihak yang terkait dalam transaksi bisnis lebih memiliki informasi daripada pihak lainnya, maka kondisi tersebut dikatakan sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dapat berupa informasi yang terdistribusi dengan tidak merata diantara agen dan prinsipal, serta tidak mungkinnya prinsipal untuk mengamati secara langsung usaha yang dilakukan oleh agen. Hal ini menyebabkan agen cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional behaviour).
            Salah satu disfunctional behaviour yang dilakukan agen adalah pemanipulasian data dalam laporan keuangan agar sesuai dengan harapan prinsipal meskipun laporan tersebut tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
            Pemanipulasian data dalam laporan keuangan tersebut dapat berupa praktek manajemen laba (earning management). Manajemen laba merupakan proses yang dilakukan manajer dalam batasan general accepted accounting principles, yang sengaja mengarah pada suatu tingkatan yang diinginkan atas laba yang dilaporkan (Assih, 2000). Manajemen laba dapat terjadi ketika manajemen lebih menggunakan judgement dalam menyusun laporan keuangan serta dalam memilih transaksi-transaksi yang dapat merubah laporan keuangan (Healy & Wahlen, 1998). Sedangkan menurut Scott (2000),manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus.

Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Manajemen Laba
            Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) meneliti hubungan asimetri informasi dan manajemen laba pada semua perusahaan yang terdaftar di NYSE pada periode akhir juni selama 1988-1992. Hasil penelitiannya, bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara magnitut asimetri informasi dan tingkat manajemen laba. Fleksibilitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
            Bhattacharya dan Spiegel (1991) dalam Richardson (1998) melakukan penelitian, bahwa asimetri informasi menyebabkan ketidakinginan untuk berdagang dan meningkatkan cost of capital sebagai “pelindung harga” investor itu sendiri melawan kerugian potensial dari perdagangan dengan partisipan pasar yang diinformasikan dengan baik. Lev (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa ukuran pengamatan atas likuiditas pasar dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat penerimaan asimetri informasi yang dihadapi partisipan dalam pasar modal. Bid-ask spreads adalah salah satu pengukuran dari likuiditas pasar yang telah digunakan secara luas dalam penelitian terdahulu sebagai pengukur asimetri informasi antara manajemen dan pemegang saham perusahaan. Sebagai bukti dari kemampuan bid-ask spreads dalam menangkap bukti seputar perusahaan ditunjukkan oleh Healy, Palepu dan Sweeney (1995) dan Welker (1995) dalam Rahmawati dkk. (2006) yaitu orang yang melaporkan bukti dari hubungan yang negatif antara bid-ask spreads dan kebijakan pengungkapan perusahaan.
            Penelitian Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) menunjukkan adanya hubungan antara asimetri informasi dengan manajemen laba. Ketika asimetri informasi tinggi, stakeholder tidak memiliki sumber daya yang cukup, insentif, atau akses atas informasi yang relevan untuk memonitor tindakan manajer, dan hal ini memberikan kesempatan atas praktek manajemen laba. Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer.
            Glosten dan Milgrow (1985) dalam Lobo dan Zhou (2001) menyatakan bahwa peningkatan informasi dalam laporan keuangan akan menurunkan asimetri informasi. Dengan demikian, peningkatan pengungkapan akan menyebabkan fleksibilitas manajer untuk melakukan manajemen laba akan berkurang karena berkurangnya asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang saham dan pengguna laporan keuangan lainnya.


Sumber :

Tugas - MENGANALISIS JURNAL

Accounting Practices and The Use of Money in The Reign of King Udayana in Bali:
An Ethnoarcheological Approach


I Gusti Ayu Nyoman Budiasih
Accounting Department, Udayana University
and
Eko Ganis Sukoharsono
Accounting Department, the University of Brawijaya


Abstract
            The study is an ethnoarcheological approach exploring the existence of accounting practices and the use of money in the reign of King Udayana (the period 989-1011). The period was considered important since it was the golden age of Singhamandawa Kingdom in Bali where King Udayana successfully integrated Bali and Nusa Tenggara, and its influence reached East Java. The King Udayana was a prominent role in the development of economic, social, political and religious values in the people of Bali.
            It is concluded that using the ethnoarcheological approach, In the era of the King Udayana, some clear pictures of the existence of accounting practices could be traced. Accounting has been understood in the era in the forms of various forms, including from the economic transaction in the traditional markets and the use of currency in many social occasions, to simple models of record keeping. It is also believed that the King Udayana used religious values to the basis of people social and economic transactions.
            It is also found that in the reign of King Udayana, coins as money were used intensively. Coins were printed in gold and silver plates as the local currency used strongly reflected the spiritual contexts which highly respected by local community. Symbols‟ coins of two similar patterns which were the same between the left and right side on the gold coins depicted the life of the balance between outward and inward or material and spiritual concepts. Similarly, four petals sandalwood flower patterns printed on silver currency as a sacred tree described the four cardinal directions were believed by Balinese that God and Goddess as the guardian of the people who believed in their greatness. Belief in this spiritual foundation was a very important concept to put into practice in order to obtain a balance between material and spiritual life. It is also believed that the accounting practices performed at the era of King Udayana also used the practice of balance. Transactions related to the use of currency trading was done between the kingdom and the villagers as expressed in the inscription showed how the empire really understand the meaning of well-being and balance life.

Keywords: Accounting History, King Udayana, King Airlangga, Ethnoarcheological Approach, History of Money.

Analisis :
1.      Masalah dalam Jurnal
            Pada masa pemerintahan Raja Udayana, praktik akuntansi dapat dipelajari dari eksplorasi prasasti, penilaian tertulis, benda-benda bersejarah atau jejak budaya yang terkait dengan penggunaan praktik mata uang. Menggunakan pendekatan ethnoarcheological, praktik akuntansi dieksplorasi dalam penelitian ini. Aspek nilai ekonomi, sosial, politik dan agama digunakan untuk mencari keberadaan praktik akuntansi. Berdasarkan pernyataan di atas, penelitian ini memfokuskan pertanyaan pada "praktek bagaimana yang akuntansi dan penggunaan uang exsisted pada masa pemerintahan Raja Udayana?"

            Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis dalam konteks praktik akuntansi awal di Bali, terutama pada masa pemerintahan Raja Udayana. Untuk manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan:
1) memberikan kontribusi pemikiran untuk pengembangan akuntansi dalam lingkup lokal exsistence praktik akuntansi di mana ia terbentuk,
2) untuk menambahkan teori dalam laporan akuntansi sebagai meningkatkan nilai akuntansi masa lalu, dan
3) untuk menambah wawasan untuk disiplin akuntansi sebagai penyebaran pengetahuan akuntansi dalam setiap bidang ilmu seperti arkeologi.

            Untuk manfaat praktis, diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi untuk:
1) para peneliti dari penelitian pengembangan akuntansi sejarah di Indonesia, dengan mempertimbangkan peran dan fungsi akuntansi di mana ia berada, sehingga untuk meningkatkan nilai-nilai budaya lokal yang mempengaruhinya,
2) bagi para pembuat kebijakan akuntansi diharapkan untuk menggunakan nilai-nilai akuntansi masa lalu sebagai dasar untuk kebijakan akuntansi saat ini dan masa depan, dan
3) untuk mempromosikan peran akuntansi dan fungsi secara menyeluruh dengan pendekatan ilmiah lainnya, yaitu arkeologi.

2.      Objek Penelitian
            Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi keberadaan praktik akuntansi dan penggunaan uang pada masa pemerintahan Raja Udayana yang diamati oleh pendekatan ethnoarcheological. Penelitian ini terinspirasi oleh studi Sukoharsono dan Lutfillah (2008) yang dieksplorasi secara intensif akuntansi di era kerajaan Singosari. Perbedaannya, penelitian ini adalah untuk periode 989-1011 yang mana diyakini lebih tua dan menarik karena beberapa prasasti yang diawetkan relatif baik disimpan di Bali.

3.      Metode Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan ethnoarcheological dalam menganalisis masalah yang diajukan. Pendekatan tersebut digunakan dalam rangka memberikan pemahaman tentang pembangunan praktik akuntansi dalam penggunaan mata uang yang diterapkan di masa lalu. Mendapat gambaran yang jelas tentang pembangunan praktik akuntansi dalam hal penggunaan mata uang di masa lalu, perlu metode penelitian yang mampu mengungkap secara mendalam pertanyaan penelitian yang diajukan.
            Mengungkap praktik akuntansi dalam hal penggunaan mata uang pada masa pemerintahan Raja Udayana yang telah tertanam seribu tahun yang lalu, mengambil pisau tajam analisis untuk dapat membangun secara eksplisit bit data artefak yang tersisa untuk mendapatkan pembangunan dalam bentuk praktik akuntansi. Penelitian akuntansi yang mengambil data historis membutuhkan arkeologi yang disiplin untuk mengungkap data arkeologi.
            Kendala utama dalam membangun kehidupan masa lalu adalah adanya data yang terbatas, baik dari segi kualitas dan kuantitas serta interpretasi data itu sendiri. Namun, budaya dasar tetap terutama di Bali, yang memungkinkan penelitian dengan metode ini lebih mudah dilakukan karena bukti etnografi cukup jelas. Hal ini terlihat dari komunitas budaya yang dapat ditelusuri dari budaya masa lalu yang membawa di situs Singhamandawa kerajaan dan desa Bali Aga (Sukawana) menggunakan data etnografi. Campuran data arkeologi dan etnografi menghasilkan metode analisis metode yaitu ethnoarcheology.

Model Penelitian
            Model penelitian dapat dijelaskan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan ethnoarcheology dalam membangun praktik akuntansi penggunaan mata uang pada masa pemerintahan Raja Udayana. Untuk menyelidiki peristiwa masa lalu atau sejarah, maka data arkeologi atau artefak, baik ditulis dalam bentuk prasasti dan studi sejarah, dan bentuk tertulis dari benda-benda peninggalan kuno yang digunakan. Data arkeologi yang diperoleh dari kedua pengamatan langsung dari lembaga arkeologi Denpasar dan Museum Arkeologi Gianyar serta melalui wawancara mendalam dengan sejarawan kuno, pengempon Raja Udayana candi warisan, arkeolog dan pakar epigrafi.
            Pengumpulan data artefak arkeologi menghasilkan interpretasi pembangunan praktik akuntansi dari penggunaan mata uang. Karena data arkeologi mendorong menganalisis data kontekstual saja, itu diperlukan data tambahan yang mungkin untuk mengeksplorasi isu-isu arkeologi secara eksplanatif. Oleh karena itu, data etnografi diperlukan. Data etnografi yang diperoleh dengan menelusuri budaya masa lalu yang melekat pada situs terkait dengan mengadaptasi dengan masyarakat pedesaan desa Bedahulu dan budaya masa lalu desa Sukawana.
            Data etnografi menghasilkan interpretasi realitas terhadap pembangunan praktik akuntansi dalam penggunaan mata uang. Interpretasi artefak dan realitas kemudian ditafsirkan kembali oleh penulis untuk menghasilkan interpretasi praktik akuntansi konstruksi penggunaan mata uang. Interpretasi hasil penelitian kemudian dikonsultasikan ke informan dan sumber data lainnya untuk mengidentifikasi dan menguji kebenaran hasil interpretasi sebagai triangulation

4.      Analisis Data
            Praktik akuntansi yang diterapkan oleh orang-orang di Bali pada masa pemerintahan Raja Udayana 989-1011M periode dapat dikaitkan dengan berbagai aspek. Gagasan bahwa akuntansi telah dikenal dan diterapkan pada waktu itu dalam hal interaksi yang dinamis dalam lingkungan sosial. Pemerintahan Raja Udayana tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kuat dari Ratu dalam menjalankan pemerintahan yang dapat dilihat dari prasasti bahwa penerbitan yang selalu mendahului nama permaisuri ditulis nama Raja. Ini berbeda dengan menulis prasasti yang dikeluarkan oleh Raja yang memerintah sebelum dan sesudah, permaisuri tidak menulis nama Queen di plakat itu dihapus.
            Kerajaan Singhamandawa diperintah oleh Raja Udayana di Bali dari tahun 989 sampai 1011. Dia adalah seorang raja yang berhasil mempersatukan seluruh pulau Bali ke Nusa Tenggara, dan bahkan pengaruhnya ke Jawa Timur. Kepemimpinan Raja Udayana juga dapat dilihat dari kemampuan untuk memecahkan masalah yang timbul di masyarakat, seiring dengan pertumbuhan pengaruh agama dan sastra Hindu di pulau Bali. Beberapa catatan yang terkandung dalam prasasti ditulis bahwa kepemimpinan Raja Udayana memberikan perhatian besar terhadap kesejahteraan rakyatnya, baik material maupun spiritual. Seperti dalam kasus keyakinan agama, Raja Udayana dihormati dengan keragaman agama rakyat. Hal ini dapat dilihat dari agama yang berkembang pada saat itu, yaitu Hindu (Siwa) dan Buddha dan sekte atau kultus berbagai. Percaya pada keragaman budaya telah, seperti yang terlihat dari prasasti yang Witten dengan menggunakan huruf Dewa Nagari, surat Kawi dan Sansekerta, Bali kuno dan Jawa Kuno. Demikian pula, di bidang kesejahteraan, Raja Udayana menyampaikan kebijakan untuk menggunakan sistem pajak dan emas individu untuk pembebasan pajak di tempat yang digunakan untuk masyarakat umum. Dalam sistem jalannya pemerintahan, Raja selalu menempatkan musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan dan memberikan kesempatan bagi warga negara untuk mengeluh secara langsung.
            Meskipun sistem pemerintahan diadopsi dalam sistem monarki, Pengambilan keputusan dari Raja Udayana adalah lebih merupakan sikap yang secara demokratis dengan pejabat kerajaan tinggi serta dengan memeriksa langsung ke lapangan. Struktur birokrasi kerajaan pada masa pemerintahan Raja Udayana mulai dari bawah pejabat tingkat desa, maka itu adalah tingkat pejabat di tingkat pusat dan yang terakhir adalah Raja yang didampingi dua kelompok Siwa dan Buddha imam. Meskipun orang mengadopsi dua sekte yang berbeda agama dan keyakinan, pulau itu aman dan sejahtera. Fakta bahwa Raja Udayana menunjukkan keberhasilan dalam menyatukan dua agama yang berbeda dan sekte mereka tumbuh di Bali-sekte sehingga mereka dapat hidup tenang dan damai. Raja Udayana telah memberikan perhatian yang cukup tinggi di bidang agama baik Siwa dan agama Buddha, yang ditemukan dalam prasasti yang menyebutkan nama grup Dang Acarya untuk Dang Opadyaya imam Siwa dan Buddha biarawan untuk kelas (Goris, 1954: 94) . Jadi kita dapat mengatakan bahwa pada saat itu membuktikan bahwa masyarakat telah memeluk dua agama itu Shiva dan agama Budha, yang memiliki spiritualitas yang tinggi.
            Pasar yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Udayana ditempatkan di daerah strategis, yang mudah untuk melakukan transaksi seperti di dekat istana (pasar sentral). Daerah dianggap padat penduduk termasuk di persimpangan jalan, dan di pelabuhan. Peran pasar pada masa pemerintahan Raja Udayana dirasakan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Itu juga perdagangan hubungan antar daerah dan pulau-pulau. Seiring dengan alat tukar pasar, ada juga diperdagangkan komoditas pada masa pemerintahan Raja Udayana, akuntansi telah dikenal orang, meskipun masih sangat sederhana untuk menjaga catatan transaksi mereka.
            Pajak biaya yang dikenakan kepada warga di pemerintahan Raja Udayana sudah sangat terkenal, seperti banyak diekspresikan dalam berbagai catatan sejarah dan prasasti yang dibuat pada waktu itu. Pengaturan pajak yang sebenarnya dikeluarkan oleh Raja Udayana ditetapkan agar tidak memberatkan masyarakat. Namun, pelaksanaannya menimbulkan banyak masalah yang disebabkan oleh karyawan bertugas mengumpulkan pajak yang kadang-kadang dilakukan secara sewenang-wenang dengan meningkatkan jumlah pembayaran pajak (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 204-207). Sebagian besar prasasti yang diketahui mengandung keputusan Raja mengenai pembentukan desa atau wilayah ke wilayah Swatantra (di Jawa disebut Sima) atau adanya lahan khusus yang dilindungi oleh kerajaan dan dibebaskan dalam bentuk apapun perpajakan.
            Munculnya akuntansi juga dapat dilihat pada masa pemerintahan Raja Udayana pengungkapan prasasti yang ditulis di Bali kuno dan Jawa untuk merekam berbagai transaksi keuangan, sehingga tercipta suatu fenomena sosial dengan catatan dan mengklasifikasikan kejadian yang ada pada saat itu . Penggunaan huruf pada masa pemerintahan Raja Udayana dapat dilihat dari tiga batu prasasti atau monumen berbentuk pilar yang tanggal dengan tahun 835 Saka atau 913 Masehi di Desa Sanur Blanjong. Prasasti menggunakan dua bahasa (bilingual) yaitu bahasa Bali dan bahasa Sansekerta dan penggunaan dua jenis huruf yang huruf dan huruf Kawi Negari dewa. Penomoran tidak banyak tulisan yang dituangkan dalam plak, hanya saja ada beberapa prasasti yang masih menggunakan penomoran memakai Hindu Sansekerta yang terdiri dari sembilan huruf 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. pada awal transaksi perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman prasejarah oleh pertukaran barang dengan barang (barter), namun ada juga yang sudah menggunakan alat tukar dalam berbagai bentuk dan standar nilai, meskipun sangat sederhana seperti dalam bentuk manik-manik, gigi permainan, batu batuan dan kerang (Suarbhawa, 2009).
            Pada masa pemerintahan Raja Udayana, yang terungkap dalam data beberapa prasasti disebutkan bahwa uang (lihat Apendix 2, 3, 4) sebagai simbol telah digunakan sebagai alat pertukaran perdagangan. Mata uang atau koin yang lebih penting karena kehadiran ornamen atau teks yang terdapat di kedua sisi. Coin dianggap sebagai artefak yang berisi nama Raja atau penguasa dan meningkatnya jumlah tahun. Uang yang digunakan dalam transaksi perdagangan internasional dalam mata uang "kepeng" yang dibawa oleh negara Cina dalam melakukan perdagangan di Bali. Kepeng digunakan dengan pertimbangan kebutuhan uang dalam denominasi kecil dan berjumlah banyak, dan mudah dibawa seperti yang berdenominasi lubang kepeng di tengah ada yang biasanya digunakan untuk mengikat dalam jumlah yang banyak. Emas dan mata uang perak biasanya hanya dimiliki oleh kerajaan, di mana mata uang ini memiliki nilai yang tinggi sehingga sulit untuk digunakan dalam transaksi-nilai kecil.
            Tonggak kemajuan masyarakat pada masa pemerintahan Raja Udayana mulai hidup pertanian, pertanian dan berburu bagi manusia pada saat itu sudah memiliki kehidupan menetap di suatu tempat dan tidak bergerak di sekitar seperti di zaman prasejarah. Mata pencaharian penduduk dilakukan dengan menggunakan cara hidup bekerja bersama-sama untuk melaksanakan tugas dan fungsi sebagai bagian dari masyarakat, dan dalam melakukan mata pencahariannya. Perdagangan telah berkembang dengan pesat yang dibuktikan dengan berbagai prasasti yang menulis tentang isu-isu yang berkaitan dengan perdagangan, sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan ekonomi masyarakat pada waktu itu lebih maju.

Penggunaan Mata Uang
            Awalnya transaksi perdagangan yang dilakukan masyarakat sebelum era Raja Udayana dilakukan melalui pertukaran barang dengan barang (barter), namun ada juga yang sudah menggunakan alat tukar dalam berbagai bentuk dan standar nilai, meskipun sangat sederhana seperti di bentuk manik-manik, gigi binatang buruan, batu dan kerang (Suarbhawa, 2009). Seiring dengan perdagangan yang telah berkembang cukup pesat, hal itu diperlukan alat tukar untuk transaksi mereka. Alat tukar diharapkan menjadi benda yang terbuat dari tahan lama, mudah dibawa kemana-mana, memiliki berat tertentu berdasarkan kesepakatan bersama dan memiliki tanda atau cap otoritas pada waktu itu menyatakan bahwa benda tersebut digunakan sebagai media yang sah pertukaran disebut uang (Amelia, 2003).

5.      Kesimpulan
            Dalam era Raja Udayana, beberapa gambar yang jelas dari keberadaan praktik akuntansi bisa ditelusuri. Akuntansi telah dipahami dalam era dalam bentuk berbagai bentuk, termasuk dari transaksi ekonomi di pasar-pasar tradisional dan penggunaan mata uang, model pencatatan sederhana. Hal ini juga dipercaya bahwa Raja Udayana menggunakan nilai-nilai agama dengan dasar orang sosial dan transaksi ekonomi.
            Sejarah praktik akuntansi pada penggunaan uang sebagai alat tukar dan satuan moneter yang erat kaitannya dengan simbol yang dicetak pada mata uang. Simbol-simbol yang dicetak dalam emas dan mata uang perak sebagai mata uang lokal yang digunakan kuat tercermin konteks spiritual yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Simbol dua pola serupa benih yang sama antara sisi kiri dan kanan pada koin emas menggambarkan kehidupan keseimbangan antara lahiriah dan batiniah atau material dan konsep spiritual. Demikian pula, pola empat kelopak bunga cendana dicetak pada mata uang perak sebagai pohon suci menggambarkan empat arah mata angin yang diyakini oleh Bali bahwa Allah dan Dewi sebagai penjaga orang-orang yang percaya pada kebesaran mereka. Percaya pada landasan spiritual ini merupakan konsep yang sangat penting untuk dimasukkan ke dalam praktek untuk mendapatkan keseimbangan antara material dan kehidupan spiritual. Hal ini juga percaya bahwa praktik akuntansi yang dilakukan pada era Raja Udayana juga menggunakan praktek keseimbangan. Transaksi yang terkait dengan penggunaan perdagangan mata uang dilakukan antara kerajaan dan desa seperti yang diungkapkan dalam prasasti menunjukkan bagaimana kekaisaran benar-benar memahami makna kesejahteraan dan kehidupan keseimbangan. Pelepasan aset tanah transaksi modal dan pinjaman kerajaan dalam bentuk ternak di masyarakat pedesaan tertentu digunakan sebagai ilustrasi contoh akan adanya praktek akuntansi.


Dari analisis jurnal tersebut, sebenarnya Saya ingin membuat skripsi tentang Sistem Informasi Akuntansi. Saya memilih jurnal ini untuk dianalisis karena Saya tertarik dengan topik yang ada di jurnal tersebut yaitu tentang penerapan praktik akuntansi pada jaman kerajaan.

Minggu, 04 Januari 2015

Tugas - ARTIKEL BHOPAL UNION CARBIDE

Created by ASERSI Group
·        Adithia Pratama                   (20211201)
·        Eko Budi Santoso                (22211376)
·        M. Riadhi Arisyi                   (24211942)
·        Teguh Tri Utomo                  (27211066)
·        Wisnu Keyren Okta Visier    (28211276)

1. Is this ethical problem by case

Answer:
a) Pesticide plant so many people who build huts around the plant.
b) Chairman eliminate money for several years
c) No organization structured to handle a disaster
d) The management company failed to give counseling to the communities around

2. Is illegal doctrine of "limited" applies to protect the shareholders of union carbide corportion

Answer:
Not applied to protect shareholders because the company's debt was swelling up to $1 billion and this causes the shareholders had suffered losses. This is because the company’s managers had failed to warn them of the risk at the Indian plant.

3. Is the Indian operation, which is being overseen by the manager of the union carbide
corporation (USA) in accordance with the law or moral standards or ethical?

Answer:

Is not appropriate because the company Union Carbide India Ltd. has not met the legal and ethical standards that have been set by the parent company. Therefore, many events - unexpected events occur in the plant due to the negligence of employees and the lack of training provided and because the majority of employees are illiterate so do not know the dangers of chemical pesticides are used. And lead to catastrophic burning storage tanks.

Tugas - MEMBUAT NAMA KELOMPOK

“ASERSI”

Assertions is a management statement contained in the components of the financial statements. The reason why we chose the name of the group assertion  are:
1.     Because the term is unique and same as with our group members
2.     One of important component in the process of auditing
3.     Simple but great significance

Assertions group consisting of :
·        Adithia Pratama                        (20211201)
·        Eko Budi Santoso                     (22211376)
·        M. Riadhi Arisyi                        (24211942)
·        Teguh Tri Utomo                      (27211066)
·        Wisnu Keyren Okta Visier        (28211276)

Tugas - KODE ETIK IAI (IKATAN AKUNTAN INDONSIA)

Pendahuluan

Etika Profesional yang mengatur perilaku akuntan yang menjalankan praktik akuntan publik di Indonesia. Pada tahun 1998, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merumuskan etika profesional baru yang diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Etika profesional baru ini berbeda dengan etika profesional yang berlaku dalam tahun- tahun sebelumnya. Kode etik IAI ini dikembangkan dengan struktur baru. Kompartemen yang dibentuk dalam organisasi IAI terdiri dari 4 macam yaitu Kompartemen Akuntan Publik; Kompartemen Akuntan Manajemen; Kompartemen Akuntan Pendidik; Kompartemen Akuntan Sektor Publik. Masing- masing kompartemen digunakan untuk mengorganisasi anggota IAI yang berprofesi sebagai Akuntan Publik, Manajemen, Pendidik, serta Akuntan Sektor Publik. Sebagai induk organisasi, IAI merumuskan Prinsip Etika yang berlaku umum untuk semua anggota IAI. Untuk profesi Akuntan Publik, Kompartemen Akuntan Publik menerbitkan Aturan Etika untuk kompartemen Akuntan Publik. Aturan Etika tersebut kemudian dijabarkan dalam Interprestasi Aturan Etika oleh Pengurus Kompartemen Akuntan Publik.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia

Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi profesi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktik profesinya bagi masyarakat. Dalam kongresnya tahun 1973, IAI untuk pertama kalinya menetapkan Kode Etik bagi profesi Akuntan di Indonesia. Pembahasan mengenai kode etik IAI ditetapkan dalam Kongres VIII tahun 1998.
Dalam kode etik yang berlaku sejak tahun 1998, IAI menetapkan delapan prinsip etika yang berlaku bagi seluruh anggota IAI dan seluruh kompartemennya. Setiap kompartemen menjabarkan 8 (delapan) Prinsip Etika ke dalam Aturan Etika yang berlaku secara khusus bagi anggota IAI. Setiap anggota IAI, khususnya untuk Kompartemen Akuntansi Sektor Publik harus mematuhi delapan Prinsip Etika dalam Kode Etika IAI beserta Aturan Etikanya.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggungjawab profesionalnya.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian

1.      Prinsip Etika, disahkan oleh Kongres VIII tahun 1998.
2.      Aturan Etika, disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan.
3.      Interpretasi Aturan Etika, dibentuk oleh Himpunan.

Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia

Mukadimah
·        Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum klan peraturan.
·        Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan.

Prinsip Pertama : Tanggung Jawab Profesi
·        Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
·        Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat.
·        Anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

Prinsip Kedua : Kepentingan Publik
·        Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
·        Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
·        Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh integritas, dengan suatu keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.
·        Anggota diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.

Prinsip Ketiga : Integritas
·        Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
·        Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
·        Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.
·        Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.

Prinsip Keempat : Obyektivitas
·        Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.
·        Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor berikut :
a.       Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka    memoriam tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat mengganggu obyektivitasnya.
b.       Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi di mana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.
c.       Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
d.       Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas.
e.       Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entertainment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka.
f.        Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda.

Prinsip Kelima : Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
·        Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, derni kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik.
·        Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seyogyanya tidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan dalam semua tanggung-jawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh Prinsip Etika.
Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase yang terpisah :
1.       Pencapaian Kompetensi Profesional. Pencapaian kompetensi profesional pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalaman kerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.

2.       Pemeliharaan Kompetensi Profesional
·        Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk belajar dan melakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.
·        Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi, termasuk di antaranya pernyataan-pernyataan akuntansi, auditing dan peraturan lainnya, baik nasional maupun internasional yang relevan.
·        Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsisten dengan standar nasional dan internasional.
Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten.
Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasa dan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.
Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung-jawabnya.

Prinsip Keenam : Kerahasiaan
·        Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir.
·        Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
·        Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
·        Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi terse but untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
·        Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten tang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung-jawab anggota berdasarkan standar profesional.
·        Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sejauh mana informasi rahasia dapat diungkapkan :
a.       Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk mengungkapkan diberikan oleh penerima jasa, kepentingan semua pihak termasuk pihak ketiga yang kepentingannya dapat terpengaruh harus dipertimbangkan.
b.      Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di mana anggota diharuskan oleh hukum untuk mengungkapkan informasi rahasia adalah :
·        untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam proses hukum; dan
·        untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada publik.

Prinsip Ketujuh : Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi :
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung-jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

Prinsip Kedelapan : Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.

Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia (IAI), International Federation of Accountants (IFA), badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.



Sumber :