Kehadiran Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) mulai 1 Januari tahun depan, diramalkan akan menghadirkan
ketegangan dengan otoritas moneter yakni Bank Indonesia. BI dan OJK
diramalkan bakal sering cekcok karena adanya rivalitas dalam melakukan
pengawasan terhadap bank. Ketegangan dan konflik pun bakal tak
terhindarkan karena adanya peraturan yang tumpang-tindih diantara keduanya. “Jangan
dikira OJK dan BI akan akur-akur saja nantinya. Bakal saling cekcok satu sama
lain, karena adanya ketentuan yang mungkin saling tumpang tindih dari kedua
lembaga itu,” kata Anwar Nasution, mantan deputi senior Gubernur BI di Jakarta
kemarin (18/1).
Meskipun demikian, Anwar
Nasution mengatakan cekcok antara BI dan OJK adalah hal lumrah dan bukan hanya
monopoli Indonesia. Menurut dia, di negara-negara lain yang menganut mazhab
pemisahan antara otoritas moneter dan otoritas keuangan, ketegangan dan cekcok
yang demikian sering terjadi. “Saya sering diundang berceramah oleh OJK di
Singapura, Korea dan Jepang. Yang selalu saya dengar dari mereka adalah
ketegangan dan pertengkaran antara OJK dan bank sentralnya,” kata Anwar. Ia
menambahkan, dalam proses transisi pemisahan fungsi BI dan OJK nantinya, paling
tidak diperlukan waktu tiga sampai lima tahun hingga semuanya berjalan lancar.
“Pengalaman di negara-negara lain, integrasi seluruh lembaga pengatur dan
pengawas lembaga keuangan memerlukan masa 3-5 tahun,” tutur Anwar.
Salah satu hal yang
krusial nantinya adalah dalam soal pemeriksaan bank. Menurut UU, salah satu
tugas OJK adalah melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap bank
dan lembaga keuangan lainnya. Di sisi lain, BI juga tetap melakukan pengawasan
dan pemeriksaan terhadap bank, walau pun nanti OJK sudah berdiri. “BI masih
akan melakukan pemeriksaan terhadap bank, walau pun OJK sudah berdiri,” kata
deputi gubernur BI, Halim Alamsyah. Bedanya, menurut Halim, pemeriksaan yang
dilakukan oleh BI adalah dalam rangka makroprudensial. Artinya pemeriksaan BI
atas bank lebih untuk mendapatkan gambaran kesehatan industri perbankan
keseluruhan, bukan memeriksa kesehatan masing-masing individu bank.
Tentang Undang-Undang
Undang-Undang (UU) Bank Sentral di Indonesia, termasuk satu
di antara undang-undang yang selalu mengalami perubahan. Perubahan yang
terjadi sesuai dengan kebutuhan zaman dan keinginan pemerintah yang berkuasa,
terjadi karena keinginan negara pemberi bantuan dan pemberi utang. Hal ini bisa dilihat mulai
dari UU No 11 Tahun 1953 sebagai perubahan terhadap “De Javasche Bankwet 1922”
dan UU tanggal 31 Maret 1922 (Staatsblad 1922 Nr 181), UU No 13 Tahun 1968
sebagai perubahan terhadap UU No 11 Tahun 1953, UU No 23 tahun 1999 yang
melakukan perubahan UU No 13 Tahun 1968, UU No 3 Tahun 2004 amendemen terhadap
UU No 23 Tahun 1999, dan terakhir adalah Perppu No 2 Tahun 2008 sebagai
perubahan kedua UU No 23 Tahun 1999.
Dalam waktu yang tidak
terlalu lama lagi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahas
UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), satu undang-undang yang diamanatkan
oleh UU No 3 Tahun 2004 yang harus dibentuk. Yang segera akan berpindah tangan
adalah fungsi pengawasan bank ke lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Artinya, ini bukan hanya akan merupakan
perubahan terhadap UU Bank Indonesia, tetapi yang paling kasat mata adalah
perubahan fungsi Bank Indonesia. Fungsi pengawasan yang sempat dinikmati oleh
Bank Indonesia selama masa reformasi.
Telunjuk yang selalu menuding
ke arah ke Bank Indonesia, ada karena tidak mampunya mereka melakukan
pengawasan secara baik terhadap bank. Contoh yang paling aktual adalah gagalnya
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Century. Timbul kecaman pedas
karena bailout Bank Century yang oleh banyak pihak dianggap tidak masuk akal.
Bank Indonesia dianggap tidak mampu bertindak tegas atau tidak mampu
menjatuhkan hukuman yang keras kepada bank yang ditengarai melakukan fraud atau
kejahatan perbankan lainnya.
Sinkronisasi Pasal
Otoritas Jasa Keuangan
ini bukan konsep baru dalam UU Bank Indonesia. Bahkan, dalam UU No 23 Tahun
1999, pembentukan lembaga yang akan melakukan pengawasan secara khusus terhadap
perbankan akan dibentuk selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2002. Kemudian,
diperpanjang oleh UU No 3 Tahun 2004 menjadi selambat-lambatnya 31 Desember
2010.
Bukan hanya pemisahan
fungsi pengawasan bank yang terjadi dengan dibentuknya OJK. Secara teoretis,
pemisahan otoritas keuangan dan moneter dilakukan dalam rangka menjaga
independensi bank sentral dan otoritas jasa keuangan, sehingga terjadi
efisiensi dan saling mengawasi untuk menghindari penyimpangan. Akan tetapi,
dalam perkembangannya, negara-negara yang selama ini menganut pemisahan
tersebut, sejak terjadi krisis, sudah mulai mendiskusikan penggabungan kembali
kedua fungsi tersebut dalam satu lembaga, yaitu bank sentral seperti yang
terjadi di Amerika.
Pembentukan OJK ini akan
berpengaruh terhadap beberapa ketentuan dalam UU Bank Indonesia. Pasal-pasal
dalam UU OJK yang juga harus disesuaikan dengan UU BI paling kurang harus
dilakukan terhadap Bab VI, Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, Pasal 24–35.
Artinya, melaksanakan perintah Pasal 34 UU BI tidak hanya berhenti pada
pembentukan OJK, tetapi juga harus ada sinkronisasi kedua UU mengenai tugas
mengatur dan mengawasi bank.
Sinkronisasi ini terutama
berhubungan dengan sanksi terhadap bank yang melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 23 UU BI, Pasal 26 ketentuan di bidang perizinan, termasuk
mencabut izin usaha, pembukaan dan penutupan serta pemindahan kantor bank, izin
pemilikan bank dan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan tertentu. Pasal
28 mengenai kewajiban menyampaikan laporan. Pasal 29 pemeriksaan bank secara
berkala atau pemeriksaan sesuai dengan keperluan. Pasal 31, kewenangan
menghentikan sementara kegiatan yang diduga merupakan tindak pidana perbankan.
Pasal 32, mengenai sistem informasi antarbank. Lalu yang tidak kalah pentingnya
lagi adalah mengenai ketentuan Pasal 11 UU No 23 Tahun 1999 jo UU No 3 Tahun
2004 jo UU No 6 Tahun 2009, tentang fasilitas pembiayaan darurat. Semua
ketentuan ini pasti akan saling terkait dengan fungsi pengawasan bank.
Persiapan Besar
Persiapan yang harus
segera dilakukan Bank Indo¬nesia dan pemerintah sekarang adalah mulai
memisahkan fungsi pengawasan Bank Indonesia pada lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan. Pemisahan ini akan menjadi pekerjaan
rumah Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Pekerjaan rumah itu
termasuk mempersiapkan organisasi yang kuat dan melakukan seleksi yang patut
terhadap personel-personel yang akan diberi kepercayaan untuk memimpin lembaga
yang sangat terkait dengan gelimangan uang. Pemisahan ini tentu akan menjadi
salah satu pekerjaan berat yang harus dilakukan tanpa menunggu kedatangan
Gubernur Bank Indonesia yang baru, siapa pun yang terpilih nanti.
Sebagai akibat langsung
dari adanya OJK kegiatan yang tidak kalah beratnya menunggu Gubernur Bank
Indonesia adalah melakukan perampi¬ngan terhadap Bank Indonesia. Bank Indonesia
adalah bank sentral yang bertujuan mencapai dan memelihara kestabilan rupiah,
bukan bank dagang. Berkaca dari bank sentral yang sudah sangat mapan,
organisasi Bank Indonesia yang mempunyai perwakilan di banyak provinsi dan di
luar negeri layak dipertimbangkan untuk dikurangi. Gemuknya organisasi ini,
tentu juga mempengaruhi besarnya biaya Bank Indonesia.
Pekerjaan yang juga menunggu
Gubernur Bank Indonesia adalah pembentukan Badan Supervisi Bank Indonesia.
Badan supervisi yang selama ini menjalankan tugasnya telah lama berakhir. Belum
ada penggantinya. Badan supervisi ini, sebagaimana berulang kali dinyatakan
oleh Darmin Nasution sebagai wakil pemerintah dalam melakukan amendemen UU BI,
adalah dalam rangka memperkuat akuntabilitas Bank Indonesia, dengan tugas pokok
mengawasi secara profesional Bank Indonesia. Fungsi pengawasan terhadap
Gubernur Bank Indonesia inilah yang sekarang tidak ada.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar