Digital Date Time Clock

Jumat, 31 Januari 2014

DAMPAK MELEMAHNYA NILAI RUPIAH TERHADAP DAYA BELI MASYARAKAT


     Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan jajaran pemerintah untuk fokus meminimalisasi dampak pelemahan rupiah terhadap daya beli masyarakat dan minat investasi. Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah mengatakan Presiden terus memonitor pergerakan nilai tukar rupiah dan aktivitas ekonomi regional. Dia mengatakan Kepala Negara dan para menteri ekonomi terus berkomunikasi dengan Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menstabilkan pergerakan rupiah sembari mengantisipasi dampaknya pada perekonomian. “Terus berkomunikasi, ada bagian fiskal dan ada bagian moneter. BI menaikkan BI rate, memang salah satu ditujukan antisipasi, namun dampaknya pada pertumbuhan ekonomi,” kata Firmanzah, Jumat (29/11/2013). Presiden, lanjut Firmanzah, meminta para menteri untuk berkonsentrasi menggulirkan implementasi paket kebijakan ekonomi pemerintah yang telah diumumkan beberapa bulan lalu.

     Kepala ekonom dari Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap impor tidak bisa berdampak dalam jangka pendek. Sebab, pelaku usaha sudah terikat dalam kontrak bisnis. "Pelaku usaha tidak mungkin bisa langsung memangkas impor ketika melihat nilai tukar melemah. Mereka kan sudah terikat kontrak untuk memenuhi kebutuhannya," ujar Fauzi saat dihubungi, Kamis (21/11). Ia menyebutkan bahwa pengaruhnya baru terasa dalam jangka menengah panjang yakni 6 bulan ke atas. Kala itu, pelaku usaha (importir) melakukan kontrak baru. Akan tetapi, nilai tukar lantas tidak bisa dibiarkan melemah. Sebab, kondisi tersebut berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. "Pelemahan nilai tukar akan meningkatkan kembali inflasi. Saat harga barang-barang melonjak naik tinggi, daya beli masyarakat akan tertekan. Dampaknya kemiskinan bertambah," terang Fauzi.

    "Saat melihat daya beli masyarakat menurun, pelaku usaha tentu akan menurunkan investasinya, jika investasi menurun maka penciptaan lapangan kerja baru berkurang. Pengangguran meningkat," tambah dia. Menurut Fauzi, pergerakan nilai tukar harus ditahan. Sebab, apabila nilai tukar rupiah menyentuh pada level psikologis baru yakni 12.000 per dolar AS, akan memberi sentimen negatif pada investor. "Para pemilik valas akan semakin tidak mau menukarkan valasnya ke dalam rupiah. Karena nilai tukar menurun," pungkas dia.

    Sesuai hasil kajian terkini MPKP FEUI (16/11/2013), pelemahan nilai tukar terhadap memberi dampak pada impor. Setiap 1% pelemahan rupiah akan membawa peningkatan nilai impor sebesar 0,5%.

     Ketua Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Tellisa Aulia Falianty mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah tidak bisa langsung menekan impor. Pelemahan nilai tukar ini membutuhkan rentang waktu 8-12 bulan. "Apabila rupiah melemah, yang berkurang adalah kuantitasnya. Tapi dari sisi nilai justru naik. Kalau rupiah terus dibiarkan melemah, bisa jadi pelaku usaha akan kurangi impor. Tapi kondisi ini kan butuh waktu yang panjang" tandasnya.

    Ia melihat pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini akan memberikan dampak negatif terhadap sektor riil dan pasar uang. "Saya harapkan ada cara (respon) untuk menjaga nilai tukar. Bisa dari sisi fiskal," tutur dia. Ia menegaskan bahwa instrumen BI rate yang digunakan BI kemarin tidak efektif dalam memperkuat nilai tukar.

    Para menteri diharapkan bisa melanjutkan reformasi struktur perekonomian, terutama terkait ketidakseimbangan eksternal dalam bentuk defisit neraca berjalan Indonesia. Selain itu, SBY mengingatkan agar minat investasi dan daya beli konsumen dipertahankan melalui stimulus kepada dunia usaha dan kebijakan fiskal lain. “Kita terus memonitor, mata uang regional , kita evaluasi. Memang yang menjadi fokus yakni, menjaga daya beli masyarakat agar tidak terganggu dan investasi terus mengalir,” kata Firmanzah.

     Melemahnya rupiah terhadap dolar ternyata juga berpengaruh terhadap biaya operasional PT PLN (persero). Direktur Operasi Jawa Bali Ngurah Adnyana mengatakan dengan pelemahan rupiah bisa membuat beban operasional penyediaan listrik terutama dari pembangkit listrik yang menggunakan gas akan mengalami kenaikan. Pasalnya, PLN membeli gas dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (US$). Meski akan mengalami kenaikan, Adnyana mengaku belum mendapatkan hitung-hitungan akibat kenaikan kurs rupiah terhadap dolar. “Mungkin saja nanti harga gas akan naik karena kita beli dalam dolar. Akan tetapi, persentasi kenaikannya belum dihitung oleh PLN,” ujar Adnyana saat ditemui di Jakarta, Senin (26/8).

     Ia menjelaskan kenaikan kurs rupiah terhadap dolar sehingga membuat beban operasional meningkat belum akan terasa dalam waktu dekat. sehingga perseroan masih bisa melakukan langkah antisipasi terkait hal tersebut. “Sekarang belum (akan berdampak pada beban operasional) karena kan baru bulan-bulan ini (santer isu pelemahan rupiah),” tukasnya. Di sisi lain, tambah dia, kenaikan beban produksi tampaknya tidak berdampak pada semua lini. Dengan demikian, kenaikan yang mungkin terjadi bisa ditutupi dengan kinerja yang positif dari sektor pembangkit listrik non gas. “Bahan bakar (bahan bakar minyak/BBM) kan kita beli di Indonesia. Jadi, kita beli pakai rupiah. Jadi tidak akan ada kenaikan cost produksi dari sektor ini,” tuturnya.

     Sejauh ini, pasokan gas untuk PLN telah mencapai 390 tera british unit (TBU). Akan tetapi, PLN menganggap bahwa pasokan tersebut masih kurang untuk memaksimalkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). PLN membutuhkan setidaknya dua kali lipat dari pasokan yang diterima oleh Perseroan. Direktur Utama PLN Nur Pamudji mengatakan pihaknya sangat membutuhkan pasokan gas untuk pembakit listrik setidaknya mencapai 500 BTU. “Saat ini kita mendapatkan pasokan gas sebesar 390 BTU. Akan tetapi kalau ditanya apakah itu sudah cukup, maka saya jelaskan itu masih kurang. Karena kita menginginkan dua kali lipatnya atau 500 BTU,” imbuhnya.

     Permintaan ini, menurut Pamudji didasarkan masih kurangnya pasokan gas sehingga membuat kejadian matinya PLTG lantaran pasokan gas yang kurang. Ia menceritakan kejadian tersebut terjadi di Medan. Akibat kejadian tersebut, pihaknya lalu menggunakan Bahan Bakr Minyak (BBM) sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Menurut dia, kebutuhan gas untuk pembangkit listrik akan mengalami peningkatan. Terlebih saat PLTG mengambil alih fungsi dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang masih menggunakan BBM. Sejauh ini, pembhangkit listrik di daerah Lorok dan Kalimantan Timur sudah sepenuhnya menggunakan gas. “Pembangkit di Bali yang semula belum menggunakan gas, nanti akan dapat gas. Jadinya kebutuhannya akan bertambah,” ucapnya.

     Penurunan pasokan gas untuk listrik disebabkan kendala koneksi yang tak bisa diubah. Saat ini, jaringan pipa gas di Indonesia tak berhubungan dengan seluruh sumur gas. Akibatnya jika ada satu sumur gas merosot produksinya pembangkit listrik langsung terkena dampaknya. Seandainya semua jaringan pipa gas saling terkoneksi, maka pembangkit listrik bisa saja mendapat pasokan dari tempat lain. Sayangnya, tak semua pembangkit bisa seperti itu. Pembangkit mutakhir dengan kapasitas lebih dari 10 MW hanya bisa menggunakan gas. Kalau pasokan gasnya berhenti maka pembangkit listrik itu mati. “Penyebab merosotnya gas, yang bisa menjawab produsen gas. Alasan rutin yakni, sudah berupaya semaksimal mungkin namun tetap gagal juga,” keluh Pamudji. Pasokan gas untuk pembangkit listrik diakui PLN tidak hanya berasal dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN), tetapi juga dari para kontraktor migas lainnya. Gas dari PGN hanya digunakan untuk pembangkit listrik di Muara Tawar dan Cilegon. “Pembangkit listrik di Gresik menggunakan gas dari WMO dan Cilegon menggunakan gas dari CNOOC,” kata Pamudji.


    Seperti diketahui, mata uang rupiah dalam keadaan mengkhawatirkan. Pasalnya rupiah sempat menyentuh Rp11.000 per dolar. Akibat keadaan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan 4 kebijakan agar membuat rupiah terkendali. 4 kebijakan tersebut antara lain perbaikan neraca transaksi perjalanan dan menjaga nilai tukar rupiah, pemberian insentif, dan menjaga daya beli masyarakat serta menjaga tingkat inflasi. Dan paket terakhir kebijakan penyelamatan ekonomi itu adalah percepatan investasi.



SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar