Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menginstruksikan jajaran pemerintah untuk fokus meminimalisasi dampak
pelemahan rupiah terhadap daya beli masyarakat dan minat investasi. Staf Khusus
Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah mengatakan Presiden terus
memonitor pergerakan nilai tukar rupiah dan aktivitas ekonomi regional. Dia
mengatakan Kepala Negara dan para menteri ekonomi terus berkomunikasi dengan
Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk
menstabilkan pergerakan rupiah sembari mengantisipasi dampaknya pada
perekonomian. “Terus berkomunikasi, ada bagian fiskal dan ada bagian moneter.
BI menaikkan BI rate, memang salah satu ditujukan antisipasi, namun dampaknya
pada pertumbuhan ekonomi,” kata Firmanzah, Jumat (29/11/2013). Presiden, lanjut
Firmanzah, meminta para menteri untuk berkonsentrasi menggulirkan implementasi
paket kebijakan ekonomi pemerintah yang telah diumumkan beberapa bulan lalu.
Kepala ekonom dari
Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar
rupiah terhadap impor tidak bisa berdampak dalam jangka pendek. Sebab, pelaku
usaha sudah terikat dalam kontrak bisnis. "Pelaku usaha tidak mungkin bisa
langsung memangkas impor ketika melihat nilai tukar melemah. Mereka kan sudah
terikat kontrak untuk memenuhi kebutuhannya," ujar Fauzi saat dihubungi,
Kamis (21/11). Ia menyebutkan bahwa pengaruhnya baru terasa dalam jangka
menengah panjang yakni 6 bulan ke atas. Kala itu, pelaku usaha (importir)
melakukan kontrak baru. Akan tetapi, nilai tukar lantas tidak bisa dibiarkan
melemah. Sebab, kondisi tersebut berdampak negatif terhadap perekonomian
nasional. "Pelemahan nilai tukar akan meningkatkan kembali inflasi. Saat
harga barang-barang melonjak naik tinggi, daya beli masyarakat akan tertekan.
Dampaknya kemiskinan bertambah," terang Fauzi.
"Saat melihat daya
beli masyarakat menurun, pelaku usaha tentu akan menurunkan investasinya, jika
investasi menurun maka penciptaan lapangan kerja baru berkurang. Pengangguran
meningkat," tambah dia. Menurut Fauzi, pergerakan nilai tukar harus
ditahan. Sebab, apabila nilai tukar rupiah menyentuh pada level psikologis baru
yakni 12.000 per dolar AS, akan memberi sentimen negatif pada investor.
"Para pemilik valas akan semakin tidak mau menukarkan valasnya ke dalam
rupiah. Karena nilai tukar menurun," pungkas dia.
Sesuai hasil kajian
terkini MPKP FEUI (16/11/2013), pelemahan nilai tukar terhadap memberi dampak
pada impor. Setiap 1% pelemahan rupiah akan membawa peningkatan nilai impor
sebesar 0,5%.
Ketua Program Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia,
Tellisa Aulia Falianty mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah tidak bisa
langsung menekan impor. Pelemahan nilai tukar ini membutuhkan rentang waktu
8-12 bulan. "Apabila rupiah melemah, yang berkurang adalah kuantitasnya.
Tapi dari sisi nilai justru naik. Kalau rupiah terus dibiarkan melemah, bisa
jadi pelaku usaha akan kurangi impor. Tapi kondisi ini kan butuh waktu yang
panjang" tandasnya.
Ia melihat pelemahan
nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini akan memberikan dampak negatif
terhadap sektor riil dan pasar uang. "Saya harapkan ada cara (respon)
untuk menjaga nilai tukar. Bisa dari sisi fiskal," tutur dia. Ia
menegaskan bahwa instrumen BI rate yang digunakan BI kemarin tidak efektif
dalam memperkuat nilai tukar.
Para menteri diharapkan
bisa melanjutkan reformasi struktur perekonomian, terutama terkait
ketidakseimbangan eksternal dalam bentuk defisit neraca berjalan Indonesia. Selain
itu, SBY mengingatkan agar minat investasi dan daya beli konsumen dipertahankan
melalui stimulus kepada dunia usaha dan kebijakan fiskal lain. “Kita terus
memonitor, mata uang regional , kita evaluasi. Memang yang menjadi fokus yakni,
menjaga daya beli masyarakat agar tidak terganggu dan investasi terus
mengalir,” kata Firmanzah.
Melemahnya rupiah
terhadap dolar ternyata juga berpengaruh terhadap biaya operasional PT PLN
(persero). Direktur Operasi Jawa Bali Ngurah Adnyana mengatakan dengan
pelemahan rupiah bisa membuat beban operasional penyediaan listrik terutama
dari pembangkit listrik yang menggunakan gas akan mengalami kenaikan. Pasalnya,
PLN membeli gas dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (US$). Meski
akan mengalami kenaikan, Adnyana mengaku belum mendapatkan hitung-hitungan
akibat kenaikan kurs rupiah terhadap dolar. “Mungkin saja nanti harga gas akan
naik karena kita beli dalam dolar. Akan tetapi, persentasi kenaikannya belum
dihitung oleh PLN,” ujar Adnyana saat ditemui di Jakarta, Senin (26/8).
Ia menjelaskan kenaikan
kurs rupiah terhadap dolar sehingga membuat beban operasional meningkat belum
akan terasa dalam waktu dekat. sehingga perseroan masih bisa melakukan langkah
antisipasi terkait hal tersebut. “Sekarang belum (akan berdampak pada beban
operasional) karena kan baru bulan-bulan ini (santer isu pelemahan rupiah),”
tukasnya. Di sisi lain, tambah dia, kenaikan beban produksi tampaknya tidak
berdampak pada semua lini. Dengan demikian, kenaikan yang mungkin terjadi bisa
ditutupi dengan kinerja yang positif dari sektor pembangkit listrik non gas.
“Bahan bakar (bahan bakar minyak/BBM) kan kita beli di Indonesia. Jadi, kita
beli pakai rupiah. Jadi tidak akan ada kenaikan cost produksi dari sektor ini,”
tuturnya.
Sejauh ini, pasokan gas
untuk PLN telah mencapai 390 tera british unit (TBU). Akan tetapi, PLN
menganggap bahwa pasokan tersebut masih kurang untuk memaksimalkan penggunaan
Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). PLN membutuhkan setidaknya dua kali lipat
dari pasokan yang diterima oleh Perseroan. Direktur Utama PLN Nur Pamudji
mengatakan pihaknya sangat membutuhkan pasokan gas untuk pembakit listrik
setidaknya mencapai 500 BTU. “Saat ini kita mendapatkan pasokan gas sebesar 390
BTU. Akan tetapi kalau ditanya apakah itu sudah cukup, maka saya jelaskan itu
masih kurang. Karena kita menginginkan dua kali lipatnya atau 500 BTU,”
imbuhnya.
Permintaan ini, menurut
Pamudji didasarkan masih kurangnya pasokan gas sehingga membuat kejadian
matinya PLTG lantaran pasokan gas yang kurang. Ia menceritakan kejadian
tersebut terjadi di Medan. Akibat kejadian tersebut, pihaknya lalu menggunakan
Bahan Bakr Minyak (BBM) sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Menurut dia,
kebutuhan gas untuk pembangkit listrik akan mengalami peningkatan. Terlebih
saat PLTG mengambil alih fungsi dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
yang masih menggunakan BBM. Sejauh ini, pembhangkit listrik di daerah Lorok dan
Kalimantan Timur sudah sepenuhnya menggunakan gas. “Pembangkit di Bali yang
semula belum menggunakan gas, nanti akan dapat gas. Jadinya kebutuhannya akan
bertambah,” ucapnya.
Penurunan pasokan gas
untuk listrik disebabkan kendala koneksi yang tak bisa diubah. Saat ini,
jaringan pipa gas di Indonesia tak berhubungan dengan seluruh sumur gas.
Akibatnya jika ada satu sumur gas merosot produksinya pembangkit listrik
langsung terkena dampaknya. Seandainya semua jaringan pipa gas saling
terkoneksi, maka pembangkit listrik bisa saja mendapat pasokan dari tempat
lain. Sayangnya, tak semua pembangkit bisa seperti itu. Pembangkit mutakhir
dengan kapasitas lebih dari 10 MW hanya bisa menggunakan gas. Kalau pasokan
gasnya berhenti maka pembangkit listrik itu mati. “Penyebab merosotnya gas,
yang bisa menjawab produsen gas. Alasan rutin yakni, sudah berupaya semaksimal
mungkin namun tetap gagal juga,” keluh Pamudji. Pasokan gas untuk pembangkit
listrik diakui PLN tidak hanya berasal dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN),
tetapi juga dari para kontraktor migas lainnya. Gas dari PGN hanya digunakan
untuk pembangkit listrik di Muara Tawar dan Cilegon. “Pembangkit listrik di
Gresik menggunakan gas dari WMO dan Cilegon menggunakan gas dari CNOOC,” kata
Pamudji.
Seperti diketahui, mata
uang rupiah dalam keadaan mengkhawatirkan. Pasalnya rupiah sempat menyentuh
Rp11.000 per dolar. Akibat keadaan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan 4
kebijakan agar membuat rupiah terkendali. 4 kebijakan tersebut antara lain
perbaikan neraca transaksi perjalanan dan menjaga nilai tukar rupiah, pemberian
insentif, dan menjaga daya beli masyarakat serta menjaga tingkat inflasi. Dan
paket terakhir kebijakan penyelamatan ekonomi itu adalah percepatan investasi.
SUMBER :