Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan menyikapi aksi penyadapan yang
dilakukan Australia hendaknya Pemerintah Indonesia melaporkannya ke PBB seperti
yang dilakukan negara-negara lainnya.
"Pemerintah Indonesia hendaknya melaporkannya ke PBB,
tapi malah mengirimkan surat ke Perdana Menteri Australia," kata Jaleswari
Pramodhawardani pada diskusi "Dialog Kenegaraan: Menakar Hubungan
Indonesia-Australia Pasca Penyadapan," di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta,
Rabu (27/11).
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah anggota DPD RI
Poppy Dharsono dan anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya. Menurut
Pramodhawardani yang akrab disapa Dani, negara-negara lainnya melaporkan aksi
penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Australia terhadap 35
pemimpin dunia ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Negara-negara yang melaporkan ke PBB, kata dia, adalah
Jerman, Brasil, Spanyol, dan sejumlah negara lainnya, sehingga PBB menerbitkan
resolusi anti penyadapan karena melanggar privasi pemimpin negara dan
melanggar hukum internasional. "Namun reaksi Indonesia menyikapi aksi
penyadapan yang dilakukan Australia cukup unik, yakni marah-marah dan kemudian
mengirimkan surat kepada PM Australia Tonny Abbot," katanya.
Dani menilai, langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia
yakni mengirimkan surat kepada PM Asutralia adalah kurang tepat. Menurut dia,
Pemerintah Indonesia bis ameninjau kembali perjanjian dengan Australia yakni
"Lombok Treaty" yang isinya menitikberatkan pada kerja sama di bidang
pertahanan, keamanan, kontra terorisme, maritime security, dan intelijen. "Dalam
perjanjian itu, Australia lebih banyak diuntungkan secara strategis dan
politik," katanya.
Peneliti bidang pertahanan LIPI ini menjelaskan, penyandapan
itu bisa dipandang dari tiga aspek yakni yaitu hukum, psikologis dan politik.
Dari aspek hukum, kata dia, ada konvensi Wina yang terkait etika hubungan
antarnegara, pada aspek politik ada etikanya dalam hal spionase, intelejen,
mata-mata dan sebagainya. "Penyadapan memang biasa dilakukan sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi strategis dan tergantung bagaimana negara bekerja dalam operasi hitam tersebut, tapi ada etika, hukum internasional, dan hubungan politik antarnegara," tegasnya.
Soal reaksi masyarakat dan parlemen Australia yang justru
marah dengan PM Tony Abbott dan mendesak agar meminta maaf kepada Indonesia,
menurut Dani, karena Australia banyak diuntungkan oleh posisi geografis dan
hubungannya dengan Indonesia. (Antara)
Pemerintah Indonesia akan melakukan tiga langkah untuk
menyikapi penyadapan Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dan sejumlah pejabat negara lainnya. Tiga langkah tersebut diklaim Menteri Luar
Negeri Marty Natalegawa sebagai langkah yang tegas sekaligus terukur.
"Pertama, kita akan memanggil perwakilan Australia yang
ada di sini," kata Marty dalam konferensi pers di Gedung Kemenlu, Jakarta,
Senin (18/11/2013). Menurut Marty, pihaknya telah memanggil Duta Besar
Australia untuk Indonesia Greg Moriarty. Namun, yang bersangkutan berhalangan
hadir sehingga akan diwakili oleh Wakil Dubes David Engel. Nantinya David akan
dimintai keterangan mengenai benar atau tidaknya penyadapan tersebut.
Kedua, lanjutnya, Duta Besar Indonesia untuk Australia Najib
Riphat Kesoema akan dipulangkan ke Indonesia. Dia akan dimintai keterangan
mengenai sejumlah informasi yang didapatkannya selama mengemban tugas di sana. "Kalau
untuk berapa lamanya dia akan di sini, belum bisa kita pastikan," lanjut
Marty.
Ketiga yaitu langkah terakhir, Pemerintah Indonesia juga akan
mengkaji ulang hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia. Nantinya,
Indonesia akan lebih membatasi dan menjaga jarak dengan Australia yang selama
ini dianggap sebagai negara tetangga dan sahabat. "Kita akan kaji ulang
kebijakan-kebijakan kita dengan Australia selama ini. Kita akan membuat garis
di atas pasir," kata Marty.
Seperti diberitakan, laporan sejumlah media asing, badan
mata-mata Australia telah berusaha menyadap telepon Presiden SBY dan istrinya,
Ani Yudhoyono, serta sejumlah menteri dalam kabinet SBY. Sejumlah dokumen
rahasia yang dibocorkanwhistleblower asal AS, Edward Snowden, yang berada
di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The
Guardian, menyebut nama Presiden SBY dan sembilan orang di lingkaran dalamnya
sebagai target penyadapan pihak Australia.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar