DAMPAK POSITIF DAN
NEGATIF PADA KEBIJAKAN HARGA MOBIL MURAH
Akhir-akhir ini banyak mobil dengan harga
murah bermunculan di negeri ini. Kehadiran mobil dengan harga murah ini
mendapat banyak sorotan. Bagi masyarakat yang memimpikan memiliki mobil baru
dengan harga yang murah ini merupakan waktu yang tepat. Tapi untuk kalangan
masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan harga mobil murah ini masih terbilang
mahal. Banyak masyarakat yang mengkhawatirkan dengan adanya mobil berharga
murah dapat memperparah kondisi kemacetan, sehingga Pemerintah pun mulai angkat
bicara mengenai mobil berharga murah ini.
Ketika Kementerian Perindustrian RI
mengeluarkan peraturan mengenai low cost green car (LCGC), banyak sambutan
positif yang muncul. Meski demikian, ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap program nasional
tersebut, banyak pihak kemudian memikirkan ulang pendirian mereka. Beberapa
kepala daerah memberikan pernyataan senada dengan Jokowi. Yang menarik, Menteri
Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta pada 26 September 2013 juga
melayangkan kritik atas program itu. "LCGC yang beredar saat ini belum
sepenuhnya ramah lingkungan. Yang ada itu murah saja," kata Menteri Hatta
(Tempo.co, 27 September 2013).
Di antara aktivis pembangunan
berkelanjutan-khususnya yang mengurusi kota berkelanjutan (sustainable cities)
dan transportasi berkelanjutan (sustainable transport)-kebijakan LCGC memang
tidak populer. Menurut mereka, kalau kota hendak dibuat berkelanjutan,
transportasi harus dibuat lancar, dan untuk itu segala sumber kemacetan harus
direduksi, kalau bukan disingkirkan sepenuhnya. Secara lebih luas, kota juga
harus dibuat fungsional dan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Karena itu, segala sumber masalah dalam ketiga aspek tersebut harus
diketahui dan dikelola dengan tepat agar kota memang menjadi layak huni dalam
jangka panjang.
Schiller, Brunn, dan Kenworthy menulis
salah satu kitab terkenal dalam isu ini, An Introduction to Sustainable
Transportation: Policy, Planning, and Implementation (2010). Dalam bab-bab awal
buku tersebut dinyatakan bahwa sumber masalah perkotaan dan transportasi adalah
ketergantungan kepada mobil pribadi.Masalah yang timbul dari ketergantungan itu
bukan hanya kemacetan.Mereka menguraikan bahwa di antara masalah ekonomi yang
timbul selain biaya kemacetan adalah biaya yang berkaitan dengan pembangunan
dan pemeliharaan infrastruktur, biaya transit, penciutan lahan produktif, biaya
yang timbul dari kecelakaan lalu lintas, serta biaya kesehatan karena polusi
dan obesitas.
Sementara itu, masalah sosial yang
ditimbulkan termasuk menurunnya kehidupan kolektif, menurunnya keamanan,
isolasi daerah yang relatif miskin, kesulitan kaum difabel untuk melakukan
mobilitas, perilaku anti-sosial akibat stres di jalan, keterpaksaan memiliki
kendaraan pribadi pada mereka yang sebetulnya tak cukup mampu, serta berbagai
masalah fisik dan mental akibat isolasi. Di sisi lingkungan, buku tersebut juga
mendaftar berbagai masalah, seperti ketergantungan pada bahan bakar fosil,
polusi, perubahan iklim, dan dampak ikutannya.
Karena itu, Schiller, Brunn, dan Kenworthy
menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada yang murah bila kita memilih untuk terus-menerus
menggantungkan diri pada bentuk-bentuk transportasi pribadi. Biaya murah hanya
ada di angan-angan individu yang mampu membeli kendaraan pribadi dan tidak
berhitung soal segala biaya yang timbul akibat pelestarian ketergantungan itu.
Sementara kalau perhitungan secara menyeluruh kita lakukan, ketergantungan itu
telah menelan biaya yang sangat besar, yang harus ditanggung oleh seluruh warga
kota. Harga mobil yang dibayarkan oleh pembelinya kepada industri otomotif
sesungguhnya menyembunyikan berbagai eksternalitas negatif. Tampaknya Menristek
melupakan soal eksternalitas itu, sehingga ia berpikir bahwa LCGC memang murah.
Padahal, kalau seluruh dampak negatif yang timbul dari ketergantungan kita pada
kendaraan pribadi dihitung dengan cermat melalui metode full cost accounting
dan life cycle assessment, sudah pasti kita semua akan terbelalak membaca
deretan angka yang harus kita tanggung itu.
Adapun soal "belum sepenuhnya ramah
lingkungan" itu memang benar. Kini, kata seperti "berkelanjutan"
dan "hijau" kerap diobral, tanpa kita benar-benar memastikan bahwa
kenyataannya memang demikian. Benar bahwa mobil yang bisa dimasukkan ke dalam
kategori LCGC memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi, dan tingkat emisi
yang lebih rendah. Masalahnya adalah bahwa itu sebenarnya jauh dari memadai
untuk dikatakan sebagai kendaraan ramah lingkungan.
Ramah lingkungan adalah sebuah konsep yang
terus berkembang sejak pertama kali muncul, dan kini sudah sampai pada titik
ideal yang sangat tinggi. Konsep seperti netral karbon, atau bahkan yang lebih
baik lagi, sudah dipergunakan sebagai ukuran untuk ramah lingkungan. Pun, itu
harus dibuktikan sepanjang daur hidup, bukan sekadar sepenggal di antaranya.
Karena ekspektasi yang demikian, banyak pakar menyatakan bahwa kebanyakan
produk bisa dinyatakan "lebih hijau" tapi tidak bisa diklaim
"hijau". Sementara itu, untuk menggunakan kata
"berkelanjutan" lebih problematik lagi. Klaim
"berkelanjutan" haruslah dibuktikan dengan banyak sekali indikator
proses dan kinerja dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. "Lebih
berkelanjutan" atau more sustainable saja sesungguhnya sudah sangat sulit
diraih, dan para pakar melihat bahwa yang banyak dicapai adalah less
unsustainable. Sayangnya, sebagian besar orang tetap mengobral penggunaan kata-kata
itu, dan menimbulkan situasi yang oleh The Worldwatch Institute dalam Is
Sustainability Still possible? (2013) sebagai sustainababble alias sekadar
ocehan soal keberlanjutan.
Permenperin soal LCGC mungkin akan dicap
sebagai sustainababble oleh para aktivis, lantaran menerapkan standar kelewat
rendah untuk sebutan hijau. Jelas, regulasi itu tidak bicara soal pembatasan
emisi yang ditimbulkan karena pembuatan mobil, selain tidak ada keharusan
pengungkapan dan tindakan carbon offset-nya. Seperti yang dicatat oleh banyak
pakar, pembuatan mobil ukuran sedang biasanya menghasilkan emisi sebanyak 17
ton, sementara mobil-mobil ukuran besar bisa mencapai 35 ton (Berners-Lee dan
Clark, 2010). Ini tentu saja perlu dibuka dengan transparan, lalu dikompensasikan
dengan berbagai tindakan carbon offset, agar dampak negatifnya terhadap
lingkungan bisa diminimumkan. Tapi, sekali lagi, regulasi LCGC tidak
mengaturnya.
Sebetulnya sangat jelas berbagai literatur
soal kota dan transportasi berkelanjutan memberikan resep yang sama: perbaikan
transportasi umum. Penekanannya selalu pada aksesibilitas dan kualitas layanan.
Moda transportasinya harus beragam, namun terkoneksi satu sama lain. Alih-alih
mengakomodasikan kecenderungan yang ada (ketergantungan pada kendaraan pribadi),
pendekatan yang diambil haruslah memutus dan membalik kecenderungan itu.
Perhitungan harus dilakukan secara menyeluruh, bukan dengan mengabaikan biaya
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk mencapai itu semua, para pakar sangat
menekankan pentingnya visi soal keberlanjutan kota dan transportasi, lalu
bekerja membuat dan menegakkan kebijakan untuk mencapai visi tersebut.
Tampaknya memang visi tersebut yang tak cukup jelas di negeri ini, sehingga
kita masih terus akan membayar mahal dampak dari kesemrawutan kota dan
transportasinya.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar