Ketika yang senior tak kunjung berprestasi, maka
ketika sekumpulan remaja ini mempertontonkan permainan dan semangat bertarung
yang menawan, mimpi dan harapan itu pun dipindahkan ke timnas U-19.
Sampai bulan lalu, tak banyak orang yang tidak
tahu siapa itu Evan Dimas, Ilham Udin Armiyn, Maldini Pali, dan nama-nama lain
di timnas U-19 itu. Tentu saja, karena mereka tidak beredar di kompetisi lokal
yang mengusung cap profesional, yang lumrahnya mendapatkan ekspos besar dari
media, dan dari mana pemain-pemain timnas diserap.
Anak-anak muda itu mereka baru beberapa tahun
melepas statusnya sebagai ABG (Anak
Baru Gede) adalah anak-anak SSB, pemain-pemain amatir, berasal dari
berbagai daerah, serta jauh dari gambaran bahwa pemain sepakbola adalah profesi
yang mapan secara ekonomi. Evan Dimas, sang kapten misalnya, ayahnya
bekerja sebagai satpam sebuah pusat perbelanjaan; atau Muhammad Factur Rohman
yang bapaknya berjualan pakaian; atau Maldini Pali yang orangtuanya
"cuma" PNS; atau kiper Ravi Murdianto yang bapaknya bekerja sebagai
sopir mobil box
sales alat
tulis.
Latar belakang keluarga selalu menjadi cerita
menarik untuk diketahui, walaupun sejatinya bukan itu yang dicari oleh
masyarakat Indonesia penggila sepakbola. Yang mereka tahu, sampai bulan lalu,
anak-anak muda itu ternyata memperlihatkan sesuatu yang menjanjikan, yang
selama ini entah terbang ke mana dari dunia sepakbola di tanah air: prestasi.
U-19 tentu saja bukan level yang prestisius,
bahkan sampai U-21 sekalipun. Tapi sepakbola di level usia ini penting karena
merupakan sebuah ukuran proses pembinaan dan perkembangan seorang pemain bola.
Khusus buat Indonesia, yang mana istilah "pembinaan usia muda"
dinilai jalan di tempat, keberhasilan "Garuda Muda" menjuarai Piala
AFF U-19 membuka mata bahwa harapan itu selalu ada. Malahan itu menguatkan
sebuah tesis bahwa dalam hal bakat, Indonesia memiliki bibit-bibit yang bisa
bersaing dengan negara-negara lain. Dalam banyak turnamen yunior, rekam jejak anak-anak
"Merah Putih" sesungguhnya terbilang bagus. Contoh paling akhir
adalah, selain Piala AFF U-19, wakil Indonesia di Danone Nations Cup, yang
disebut-sebut sebagai Piala Dunia-nya untuk anak-anak usia 10-12 tahun,
berhasil menduduki peringkat kedelapan dari 32 negara.
Mengutip Coach Timo Scheunemann, Indonesia memang
punya bibit-bibit yang unggul. Masalahnya, ceritanya bisa lain ketika para
pemain itu mulai menapak ke jenjang yang lebih tinggi. Sistem pembinaan, yang
disusul kemudian oleh kultur, iklim dan juga sistem yang dirancang dan dikelola
oleh mereka-mereka yang memiliki otoritas membangun sepakbola di negeri ini,
bisa menjadi sebuah pertaruhan di masa depan.
Timnas U-19 ini harus diakui memang sangat
menjanjikan. Kalangan pengamat maupun masyarakat awam bersepakat bahwa tim ini
bisa bermain, baik secara fisik maupun taktik. Pelatih Indra Sjafri, yang
dikenal gemar blusukan ke pelosok-pelosok untuk mencari pemain-pemain muda
berbakat, layak diberi credit
point dalam hal ini. Yang paling
kentara adalah euforia yang seketika terbentuk setelah tim ini menjuarai Piala
AFF bulan lalu, mencerminkan betapa masyarakat kita haus dan dahaga pada
prestasi. Kemenangan dan menjadi juara sudah lama menjadi mimpi besar bangsa
ini di dunia sepakbola, setelah terakhir kali meraihnya 22 tahun silam. Indonesia
terakhir meraih gelar juara di iven resmi ketika meraih medali emas SEA Games
Filipina tahun 1991. Ketika itu, tim asuhan Anatoly Polosin itu mengalahkan
Thailand lewat adu penalti. Setelah itu, di banyak iven resmi yang
diikuti, Indonesia nirgelar. Piala AFF (dulu Piala Tiger) hanya memberi
prestasi “hampir” juara, yakni empat kali masuk final.
Harus diakui, kecintaan masyarakat Indonesia pada
timnasnya sungguh luar biasa, dan sering kali bikin geleng-geleng kepala. Pada
sebagian orang, harapan untuk melihat timnas jadi juara tak pernah padam,
betapapun berkali-kali itu pula mereka mesti kecewa. Maka timnas U-19 ini
seperti oasis di gurun pasir, laksana matahari jam setengah enam pagi, yang
datang untuk menyirnakan kegelapan malam. Kita semua berharap,
kesuksesan di AFF 2013 akan terus menular ke kualifikasi AFC 2014, dan kemudian
menular ke iven-iven lain ke depannya.
SUMBER :