Digital Date Time Clock

Selasa, 15 Januari 2013


An Investigation of Factors Affecting the Quality of the Relationship between
Franchisee and Franchisor and its Impact on Franchisee’s Performance,
Satisfaction, and Commitment: A Study of the Restaurant Franchise System


Soo Bum Lee


Dissertation submitted to the Faculty of the
Virginia Polytechnic Institute and State University
In partial fulfillment of the requirement for the degree of


Doctor of Philosophy
In
Hospitality and Tourism Management


Mahmood A. Khan, Ph.D., Chair
Suzanne K. Murrmann, Ph.D.
Pamela A. Weaver, Ph. D.
Robert J. Harvey, Ph.D.
Yang-Hwe Huo, Ph.D.


April 23, 1999
Blacksburg, Virginia


Keywords: Franchising, Franchisee, Franchisor, Quality of the Relationship,
Foodservice Industry, Structural Equations Modeling


Copyright 1999, Soo Bum Lee





 An Investigation of Factors Affecting the Quality of the Relationship between
Franchisee and Franchisor and its Impact on Franchisee’s Performance,
Satisfaction, and Commitment: A Study of the Restaurant Franchise System


Soo Bum Lee


(ABSTRACT)


The growth of franchising has been an important trend in the hospitality industry, since it was introduced into the restaurant sector by Howard Johnsons in the 1930s. In recent years, because of intense competition quick service restaurants have experienced significant external and internal pressures. Such pressures have caused disputes and abuses of the system and have affected external suppliers, customers, and suppliers, as well as franchisees within the franchise system. Because the franchisor-franchisee relationship has yet to be fully explored, knowledge of the factors that produce a highquality relationship between franchisor and franchisee are critical to the advancement of knowledge in the hospitality industry.
Leader-Member Exchange (LMX) theory is offered of an effective theoretical model of antecedents that can predict the effectiveness the franchisor-franchisee relationship. This study presents a model based on a subset of the Leader-Member Exchange theory.
Using the survey responses of franchisees in the restaurant industry, this study identifies the key factor that affect the franchisee’s commitment, the franchisee’s satisfaction with purchasing or operating franchise outlets, the effects of the franchisor’s brand name on the quality of the relationship, the franchisee’s perception of the franchisor’s support, the franchisee’s motivation to become a franchisee, and the franchisee’s performance.
The results of this study generally support the hypothesized model and provide strong support for the idea that the quality of the relationship between franchisee and franchisor plays a role in ensuring that the contractual relationship will lead to franchisee job satisfaction and financial success for both. The proposed model provides franchisors with valuable information for establishing an effective management strategy to improve the relationship between franchisor and franchisee and thus improve the rate of success of both franchisor and franchisee. Similarly, the model can assist both the franchisor and franchisee in understanding their policies in strategic terms and in integrating their different activities to provide the firm with the quality relationship required for maintaining advantage.



 BAB 2


TINJAUAN LITERATUR

Kebanyakan penelitian dilakukan di daerah hubungan franchisee-franchisor yang mengambil pendekatan bahwa waralaba adalah bentuk organisasi ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan. Studi ini mungkin termasuk pertanyaan terkait tentang proporsi optimum waralaba unit dan campuran yang tepat dari outlet dalam sistem waralaba. Fiol dan Lyles (1985) menemukan bahwa kemampuan sistem waralaba untuk memberikan peluang lebih besar bagi belajar dari sebuah organisasi kesatuan menyediakan harus diperhitungkan. Sifat hubungan formal dan informal dalam sistem waralaba mempengaruhi komersial transaksi, dan transaksi komersial berpotensi dapat menimbulkan konflik (Spinelli dan Birley, 1996). Garis pemikiran yang alamat waralaba pilihan sebagai bentuk Organisasi menggambarkan waralaba sebagai didorong oleh kontrak jangka panjang dimana pemilik, produsen, distributor atau layanan atau produk merek dagang (franchisor) memberikan kepada non-eksklusif hak distributor untuk distribusi lokal produk atau jasa (franchisee). Umum, teori efisiensi organisasi yang mengandalkan industri teori organisasi penyelarasan insentif menjadi yang paling umum diterima sarana mendekati penelitian tentang waralaba. Gua dan Murphy (1976) didefinisikan perjanjian waralaba sebagai suatu perjanjian yang berlangsung selama rentang tertentu atau tidak terbatas waktu di mana pemilik merek dagang yang dilindungi memberikan kepada orang lain atau hak perusahaan untuk beroperasi di bawah merek dagang nya untuk tujuan memproduksi atau mendistribusikan produk atau jasa. Penelitian tentang waralaba sebagai jenis organisasi dapat dikategorikan menjadi tiga utama bidang: capital teori, pandangan-kendala sumber daya, dan teori keagenan. A jumlah perspektif teoritis yang berbeda dalam kategori di atas yang dibahas dalam bab ini.


2.1 Sebuah Tinjauan Waralaba dari Viewpoint Struktur Organisasi

Tubuh penelitian yang berkaitan dengan pilihan bentuk organisasi dan outlet terutama deskriptif dan empiris. Alasan memotivasi perusahaan untuk memilih waralaba daripada ekspansi melalui perusahaan milik unit adalah topik yang mengilhami debat di literatur. Pada bagian ini, kita menilai penjelasan teoritis yang berbeda untuk pilihan waralaba sebagai bentuk organisasi, diikuti dengan pemeriksaan empiris dukungan yang tersedia untuk masing-masing perspektif.


2.1.1 Modal Teori

Pasar modal argumen ketidaksempurnaan adalah salah satu penjelasan paling awal untuk waralaba (Oxenfeldt dan Kelly, 1968; Oxenfeldt dan Thompson, 1969; Hunt, 1973; Gua dan Murphy, 1976). Menurut argumen ini, franchisor, ketika dihadapkan dengan keterbatasan modal, mampu meningkatkan modal dengan biaya lebih rendah daripada yang terjadi dengan lainnya bisnis situasi dan dengan demikian mampu memperluas tanpa menambahkan perusahaan milik toko. Dengan kata lain, franchisee dipandang oleh franchisor sebagai sarana untuk menangani masalah modal yang langka. Menurut Gua dan Murphy (1976), "Untuk outlet pembiayaan modal dipasok oleh franchisee tidak memiliki pengganti siap "(hal. 581).
Sebuah model siklus hidup waralaba diusulkan oleh Oxenfeldt dan Kelly (1968), dimana pada tahap awal dalam siklus hidup-perusahaan, jika dapat kekurangan modal yang cukup untuk ekspansi, dapat memanfaatkan modal pemegang waralaba untuk pertumbuhan perusahaan. Ketika perusahaan mencapai tahap di mana ia telah memperoleh modal yang cukup, franchisor mampu untuk mendapatkan kembali unit yang lebih besar dari franchisee. Lillis, Narayana dan Gilman (1976) juga digunakan pendekatan siklus hidup untuk menyelidiki evolusi waralaba. Para penulis menyarankan unik keuntungan dari sistem distribusi waralaba, menurut waralaba siklus kehidupan panggung. Mereka mengidentifikasi empat keuntungan sebagai berikut utama: "(1) cepat akses pasar, (2) pengurangan biaya modal, risiko berbagi (3) dalam distribusi channel, (4) sangat termotivasi pemilik-operator "(hal. 77). Selain itu, beberapa lainnya keuntungan adalah: (5) kerja-sharing di antara manajemen, (6) anti-trust tindakan perlindungan, (7) kemampuan untuk menyediakan layanan di lokasi marjinal, (8) mengurangi ekonomi konsentrasi, dan (9) promosi bisnis dimiliki secara independen.
Selanjutnya, penulis berkorelasi pentingnya keuntungan untuk tahapan dalam siklus hidup waralaba. Secara umum, motivasi franchisee itu dirasakan oleh pemilik waralaba menjadi keuntungan yang paling penting. Juga penting, masing-masing, adalah penetrasi pasar yang cepat, pembagian risiko, dan modal masuk. para penulis disurvei makanan cepat saji waralaba, dan menemukan bahwa waralaba didorong oleh cepat penetrasi pasar pada tahap awal kehidupan perusahaan, tetapi pada tahap yang lebih matang, penuh distribusi langsung terintegrasi lebih menguntungkan. Para penulis juga meneliti pentingnya keunggulan kompetitif yang diterima secara umum di berbagai tahap waralab. Perbedaan signifikan ditemukan dalam persepsi pentingnya dari keunggulan kompetitif di berbagai tahap, perbedaan itu tidak signifikan di tahap. Para penulis menyarankan bahwa modal dan manajemen bakat lebih signifikan untuk perusahaan start-up dari mereka untuk waralaba sukses.
Sebuah studi empiris oleh Hunt (1973) dan Thompson (1994) memberikan dukungan awal untuk pendekatan siklus-hidup untuk menyelidiki waralaba. Sebuah tren agregat ditemukan terhadap perusahaan milik unit dalam industri makanan cepat saji. Juga ditemukan adalah fakta bahwa unit besar dan lebih tua lebih mungkin untuk kembali ke kepemilikan perusahaan, tren yang dikuatkan oleh Gua dan Murphy (1976) mengenai kepemilikan perusahaan hotel, motel, dan restoran. Sebuah pemikiran yang berlaku untuk waralaba menunjukkan bahwa waralaba adalah sarana untuk franchisor untuk meningkatkan modal (Oxenfeldt dan Thompson, 1968; Gua dan Murphy, 1976).
Markland dan Furst (1974) telah mengusulkan optimasi portofolio waralaba model yang dapat dimanfaatkan oleh waralaba yang potensial untuk menentukan portofolio optimal. Model ini memiliki dua atribut utama. Pertama, teknik penganggaran modal probabilistik digunakan untuk mengevaluasi waralaba potensial, dan kedua, integer programming menentukan portofolio optimal diskrit, waralaba alternatif mengingat penjatahan modal dan kendala risiko.
Ditemukan (Tompson, 1992) bahwa ketika unit memerlukan investasi modal yang tinggi, kepemilikan perusahaan kurang mungkin terjadi. Fakta bahwa franchisers baru biaya yang lebih tinggi Biaya awal dari franchisor lebih mapan merupakan indikasi bahwa sumber daya penting pada tahap awal pertumbuhan suatu perusahaan (Sen, 1993). Meski telah diterima secara luas antara para peneliti, penjelasan kendala modal tampaknya dalam perselisihan dengan teori keuangan (Rubin, 1978). Rubin (1978) menggunakan teori portofolio manajemen untuk menekankan penghindaran risiko biasanya lebih besar dari waralaba, dan menyarankan bahwa ada biaya yang lebih tinggi dari modal untuk franchisee. Investasi waralaba 'yang tidak diversifikasi investasi sebagai franchisor, karena perusahaan waralaba akan memiliki pendapatan dari portofolio royalti dan biaya masukan. Oleh karena itu, akan menguntungkan bagi franchisee yang tidak ingin dikenakan risiko tinggi memerlukan risiko premium dari franchisor, yang menghasilkan pengembalian yang lebih rendah untuk franchisor.
Catatan Rubin lanjut (1978) bahwa meskipun ketidaksempurnaan pasar modal bruto yang menyebabkan waralaba mengandalkan secara eksklusif pada manajer toko untuk modal, waralaba dapat mengurangi biaya modal dengan menerbitkan saham untuk portofolio semua unit nya, daripada mengikuti Skema kepemilikan yang terbatas. Franchisor mengendalikan waralaba kontraktual, yang meniadakan membuat substitusi ini, dan juga meniadakan jenis aset lainnya-mengurangi franchisor perilaku (Norton, 1988). Insentif dari waralaba adalah tanggapan ke vertikal rantai kekuatan pasar. Namun, struktur kekuatan pasar yang kurang dalam umum (Rubin, 1978). Kekuatan pasar, bagaimanapun, sulit untuk mengukur secara empiris (Norton, 1988).
Baik perspektif lembaga maupun perspektif modal kendala sendiri memberikan alasan lengkap untuk pola kepemilikan waralaba (Dant et al., 1996). Perspektif lain adalah biaya transaksi-analisis, yang disajikan oleh Dant et al. (1996), yang digunakan kerangka kerja yang menggabungkan unsur-unsur dari kedua teori. Menurut biaya transaksi analisis (TCA), struktur kepemilikan yang paling efisien adalah salah satu yang meminimalkan baik biaya transaksi dan produksi. Ketika menerapkan TCA untuk waralaba, proporsi berbagai unit yang dimiliki oleh perusahaan waralaba dan oleh waralaba di sistem waralaba yang berbeda mencerminkan proporsi yang paling efisien untuk setiap sistem. Waralaba sistem menghadapi berbagai proporsi biaya transaksi dan produksi, dan menyesuaikan proporsi mereka dari unit yang dimiliki perusahaan dan franchisee yang dimiliki dalam rangka meminimalkan biaya-biaya (Dant et al, 1996;. Klein, 1980; Williamson, 1979, 1981, 1983).
Ketidakpastian perilaku, dalam konteks waralaba, mengacu pada kesulitan yang waralaba mungkin menghadapi dalam memantau perilaku pewaralaba dan mengevaluasi mereka kinerja sesuai kontrak mereka. Sering disebutkan dalam literatur adalah kecenderungan untuk pemilik waralaba untuk "bebas-naik," praktek yang merugikan franchisee, yang tidak memiliki insentif untuk memotong biaya atau kualitas, karena setiap tabungan tidak dibebankan kepada mereka (Carney dan Gedajlovic, 1991). Praktek bebas naik merugikan merek dagang waralaba, dan adalah masalah luas bagi franchisee (Brickley dan Dark, 1987; Norton, 1988; Carney dan Gedajlovic, 1991). Biaya transaksi sudut pandang menyatakan bahwa mayoritas varians dalam struktur kepemilikan, pengalaman franchisor dalam produksi, dan Kemampuan franchisor untuk mencapai skala ekonomi memiliki pengaruh yang signifikan pada sejauh tentang pentingnya perusahaan milik unit (Klein dan Kim, 1998).


2.1.2 Sumber-Kendala View

Di antara sumber daya kelangkaan teori berorientasi tentang mengapa perusahaan memilih untuk menjadi waralaba, kurangnya sumber daya kewirausahaan / manajerial umumnya telah diterima sebagai faktor kunci, di manajer bahwa perusahaan 'mungkin tidak memiliki sumber daya untuk membangun jaringan perusahaan milik toko. Merekrut dan pelatihan unit manajer dapat menjelaskan lumayan persentase biaya pertumbuhan perusahaan ', sedangkan dalam sistem waralaba, franchisee memberikan

Senin, 07 Januari 2013

JURNAL EKONOMI KOPERASI 1

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006

REVIEW 3

V. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
1. Pesantren memiliki landasan ideal dan praktis yakni sebagai bagian dari
upaya kegiatan pengembangan dalam proses belajar mengajar di lingkungan
warga Pesantren. Kopontren juga berfungsi sebagai faktor penopang bagi
penumbuhan ekonomi Pesantren yang berakar pada santri dan masyarakat
di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pemikiran ini Diklat Perkoperasian
akan menjadi salah satu aktivitas yang dapat membantu pengembangan
ekonomi Pesantren.
2. Tingkat akselarasi pertumbuhan dan perkembangan Kopontren terkait erat
dengan partisipasi masyarakat sekitarnya dalam mendukung kegiatan
usahanya. Hal ini berarti Diklat Perkoperasian selayaknya mengarah pada
jenis-jenis pelatihan yang menopang program uaha Kopontren.
3. Dalam prakteknya Diklat Perkoperasian yang pernah diselenggarakan oleh
berbagai penyelenggara, masih memiliki celah-celah kekurangan. Dari sisi
internal adalah kurikulum berupa materi pelatihan kurang sesuai dengan usaha
Kopontren, ketidakseimbangan antara penyampaian teori dan praktek
lapangan, kompetensi pelatih/instruktur yang belum sepadan dengan
kepentingan usaha koperasi pesantren, rentang waktu pelatihan yang belum
sejalan dengan harapan peserta. Selanjutnya, dari sisi eksternal adalah
kurangnya pemupukan modal usaha Kopontren pasca Diklat serta minimnya
program pendampingan dalam hal pemasaran, dan penguatan jaringan
kemitraan Kopontren terhadap sentra industri di sekitar Pesantren. Di samping
itu pihak peserta dan pelatih/instruktur mengeluhkan minimnya insentif selama
pelatihan berlangsung. Sementara pihak manager dan pejabat dinas
mengeluhkan hal yang sama yakni minimnya anggaran biaya pelatihan.
4. Kecenderungan ekonomi masyarakat di Indonesia sekarang ini mengarah
kepada Pola Syariah. Pihak Koperasi Pesantren membutuhkan pengayaan
konsep Koperasi Pola Syariah yang lebih mendalam sehingga tidak ketinggalan
dari pola perbankan konvensional.
5. Pelatihan Koperasi di masa mendatang sepatutnya merupakan hasil pilihan
yang kompromi diantara berbagai kalangan mulai dari pihak penyelenggara/
instansi terkait, peserta dan pengelola koperasi pesantren, perguruan tinggi,
LSM dan lembaga keuangan terkait. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan
bahwa elemen yang berhubungan dengan input, proses, output, outcome
dan impact merupakan tahapan-tahapan yang tidak boleh lepas dari semua
stakeholders.
6. Jaringan assosiasi Kopontren merupakan satu kekuatan organisasi yang dapat
digerakkan sebagai wadah yang mampu mendukung sinergi pengembangan
Kopontren dalam mengatasi segala permasalahan Kopontren di tingkat
nasional, regional dan lokal.
7. Indikator keberhasilan dan kekurangberhasilan pelatihan bagi Kopontren tidak
saja ditentukan oleh tingkat pengorganisasian pelatihan selama proses belajarmengajar
dalam pelatihan. Akan tetapi juga oleh hasil pembinaan pasca
pelatihan. Oleh karena itu Diklat Perkoperasian yang selama ini dilaksanakan
oleh berbagai pihak patut diteruskan dengan melakukan berbagai penyesuaian
dan perbaikan.
5.2. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi sebagai bahan pertimbangan pihak Kementerian KUKM
adalah sebagai berikut:
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006
1. Kementerian KUKM perlu mengupayakan kerjasama pembinaan Pesantren
dengan Departemen Agama dalam hal pengembangan modal dan sarana
Kopontren. Dengan kata lain pasca pelatihan, Kopontren secara selektif patut
diberi suntikan modal untuk peningkatan diri (self sustaining growth) untuk
aktivitas usahanya.
2. Cakupan peserta Diklat Perkoperasian perlu diperluas dan tidak terfokus pada
Pengurus Kopontren dan Pengelola Pesantren saja, kemudian secara khusus
atau periodik ditujukan kepada kalangan santri.
3. Agar hasil pelatihan koperasi secara intensif diefektifkan oleh alumni peserta
Diklat dalam mengembangkan Kopontren, maka diperlukan upaya perumusan
strategi sistem monitoring dan penyuluhan yang berkesinambungan dari pihak
Kementerian KUKM pasca pelatihan.
4. Perlu penelitian lanjutan tentang respons masyarakat terhadap Kopontren
untuk mendapatkan prespektif Kopontren di tengah masyarakat.
5. Pembinaan Kopontren harus diupayakan secara berimbang antara Pesantren
wilayah Pertanian, Perikanan, Aneka Jasa, Kerajinan dan Ketrampilan teknis,
dan lain-lain. Diperlukan pula fasilitasi pembentukan jaringan kemitraan dengan
sentra-sentra industri di sekitar pesantren. Sehingga konsep koperasi dapat
dituangkan ke dalam wilayah usaha yang lebih luas. Dengan demikian
Kopontren dapat lebih berperan dalam mengantisipasi tengkulak atau praktek
ijon pada masyarakat sekitar Pesantren.
6. Secara periodik ada baiknya diadakan pertemuan antara pihak Kementerian
KUKM, Pihak Manajemen Industri dengan Kyai dan Pengelola Kopontren
untuk memberi penguatan yang berkelanjutan tentang urgensi koperasi di
Pesantren. Dengan demikian sebahagian ekonomi kerakyatan akan berada
dalam nuansa keagamaan (religius) sehingga kekuatan ekonomi tidak
tergantung pada sistem moneter tapi pada mekanisme produksi serta pasar
lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, 1996, Beberapa Substansi Pokok Undang-Undang No. 25 Tahun 1992.
Pengantar Untuk Membangun Kesadaran Berkoperasi, Makalah Disampaikan pada
Pendidikan Perkoperasian Tingkat Lanjutan, Kopma IAIN Jakarta, 19 Desember
1996.
Amin Azis, 1983, Partisipasi Anggota dan Pengembangan Koperasi, Dalam Sri Edi
Swasono (Ed), Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi Dalam Orde
Ekonomi Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1983.
Azyumardi Azra, 1997, Pesantren, Kontinuitas dan Perubahan, dalam Bilik-bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan Oleh Nurcholis Madjid. Penerbit Paramadina,
Jakarta.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006
Babbie, Earl., 1998, Survey Research Design, In Chapter The Logic Of Survei Sampling,
(1998).
Badri Yatim, dkk, 1999, Sejarah Perkembangan Madrasah, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI. Jakarta.
Cranton P, 1986, Planning Instruction For Adult Leamers, Wall Emersob. Inc., Toronto,
Canada (1986).
Dawam Rahardjo, M. 1995. Koperasi : Kabar dari Lapangan, dalam Suyono AG dan
Irsyad Muchtar dkk (Ed), Koperasi Dalam Sorotan Pers : Agenda yang Tertinggi
dalam Rangka 50 tahun RI. Pustaka Sinar Harapan, Yogyakarta.
Faisal Ismail, 1997, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis,
Cetakan ke-2, Titian Ilahi Press, Yogyakarta.
Gagne Robert, M. 1977, The Condition Of Learning, New York : Holt, Rinehart and
Wineton.
Gerlach, Vermon S. And Ely, Donald P. 1971, Teaching and Media : A Sistematic
Approach, Prentice. Hall, Englewood Clifs. N.A.
Hasbullah, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintas Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan, Cetakan ke-2, Raja Graffindo Persada, Jakarta.
Husni Rahim, 2001, Pondok Pesantren Koperasi di Indonesia, Proyek Peningkatan
Tahun Anggaran 2001 Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI.

JURNAL EKONOMI KOPERASI 1

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006

REVIEW 2

VII. Hasil dan Pembahasan Kajian
1. Profil Kopontren di Lokasi Sampel
Dari segi setting wilayah penelitian, data kajian diperoleh wilayah Provinsi Jawa
Barat dan Jawa Timur, dan secara keseluruhan meliputi beberapa daerah tingkat dua
yaitu, Kabupaten Sukabumi, Tasikmalaya, Subang, Cirebon, Bekasi, Madiun, Kediri,
Malang, Situbondo dan Jombang. Dari segi kuantitas, jumlah Kopontren di Indonesia
menurut data Proyek Peningkatan Ponpes Departemen Agama terdapat sekitar 1.400
unit, dan tidak kurang 30 persen berada di Propinsi Jawa Timur, kemudian sekitar 17
persen di antaranya berlokasi di Propinsi Jawa Barat. Khusus di Provinsi Jawa Timur,
sebanyak 53 persen Ponpes berada di lokasi pemukiman, sekitar 23 persen berlokasi di
daerah pertanian, 15 persen di daerah Pegunungan, masing-masing sekitar lima persen
di daerah tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah industri dan kurang
dari satu persen berada di daerah pedalaman. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, sekitar
47 persen berdekatan dengan lokasi pemukiman, 32 persen berlokasi di daerah pertanian,
kemudian disusul 17 persen di daerah pegunungan, masing-masing sekitar 3 persen di
daerah tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah Industri dan kurang
dari satu persen berlokasi di daerah pedalaman. Hal ini mengindikasikan potensi Kopontren
untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya ternyata cukup besar.2. Aspek Jenis Pelatihan
Kategori Diklat yang diselenggarakan untuk Kopontren terbagi atas dua, yakni
pelatihan untuk Pengurus Kopontren dan Pimpinan Ponpes, kemudian pelatihan untuk
Pelatih, Manajer, dan Pejabat Dinas/Pembina. Sedangkan jenis pelatihan yang telah
dilaksanakan Kementerian KUKM adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 1. Jenis-jenis Pelatihan yang Telah Diselenggarakan
No. Nama Pelatihan
1. Manajemen Keuangan Koperasi
2. Business Plan/Strategi Pengembangan Usaha
3. Kewirausahaan
4. Simpan Pinjam Pola Syariah
5. Pelatihan Pengantar Bisnis
6. Manajemen Pemasaran dan Distribusi
7. Pelatihan Usaha Simpan Pinjam
8. Pelatihan Usaha Peternakan
9. Pelatihan Untuk Pengelola Koperasi
10. Pelatihan Untuk Perikanan
11. Pelatihan Lain-lain
Jenis Pelatihan ini adalah akumulasi dari Diklat yang pernah diikuti, dan tidak
semua responden mengikuti seluruh jenis pelatihan tersebut.
Berdasarkan sebaran data untuk jenis pelatihan yang pernah diikuti diperoleh
gambaran sebagai berikut :
1. Diklat Kewirausahaan diikuti oleh 65 orang anggota Kopontren (40,1 persen),
Pelatihan untuk Pengelola Koperasi sejumlah 54 orang (33 persen),
Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang (32,1 persen), selebihnya
frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari 10 persen.
2. Pimpinan Ponpes yang mengikuti jenis pelatihan Kewirausahaan sejumlah
18 orang (56,3 persen), Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 16 orang
(50,0 persen), selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari
20 persen.
3. Pengurus Kopontren yang mengikuti jenis Pelatihan Manajemen Keuangan
Koperasi sebanyak 36 orang (49 persen), Kewirausahaan sejumlah 32 orang
(43,2 persen), Pelatihan Usaha Simpan Pinjam sejumlah 54 orang (33,3
persen), Manajemen Simpan Pinjam Poila Syariah 52 orang (32,1 persen),
selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari lima persen.
4. Pelatih yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan :
Manajemen Keuangan Koperasi dan Kewirausahaan sejumlah 18 orang (62,1
persen), Bisnis/Strategi Pengembangan Usaha sejumlah 15 orang (51,7
persen), Pelatihan untuk Pengelola Koperasi 13 orang (44,8 persen), selebihnya
frekuensi intensitas pelaksanaannya kurang dari 10 persen.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006
5. Manajer Pelatihan seluruhnya telah melaksanakan jenis pelatihan Manajemen
Keuangan Koperasi sejumlah 12 orang (100 persen), Kewirausahaan sejumlah
8 orang (66,7 persen), Bisnis/Strategi Pengembangan Usaha dan Pelatihan
Untuk Pengelola Koperasi sejumlah 7 orang (58,3 persen).
3. Aspek Jenis Pelatihan yang Mendukung Usaha Kopontren
Berdasarkan sebaran data dari hasil penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai
berikut :
1. Peserta Pelatihan yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha
Kopontren : Kewirausahaan sejumlah 54 dari 162 orang (33,3 persen),
Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang (32,1 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung usaha Kopontren.
2. Pimpinan Pondok Pesantren yang menyatakan jenis pelatihan yang
mendukung usaha Kopontren : Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 19
orang (59,4 persen), Kewirausahaan 16 orang (50 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung.
3. Pengurus Kopontren yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha
Kopontren : Manajemen Keuangan Koperasi sejumlah 42 orang (56,8 persen),
Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 32 orang (43,2 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung.
4. Pelatih yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan dan
mendukung usaha Kopontren : Pelatihan Perkoperasian sejumlah 19 orang
(65,5 persen), Kewirausahaan sejumlah 17 orang (58,6 persen), selebihnya
frekuensi intensitas jawabannya kurang.
5. Manajer Pelatihan : yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah
dilaksanakan dan mendukung usaha Kopontren : Manajemen Keuangan
Koperasi sejumlah 8 orang (66,7 persen), Kewirausahaan sejumlah 7 orang
(58,3 persen).
6. Rata-rata Pejabat Dinas menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha
Kopontren adalah : Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah sejumlah 8
orang (57,1 persen), Bisnis Plan/Strategi Pengembangan dan Manajemen
Keuangan Koperasi sejumlah 7 orang (50 persen).
4. Aspek Kendala Pelatihan
Intensitas jawaban responden dalam menjawab kendala dari segi input yang
pernah mereka alami selama mengikuti pelatihan dapat dinarasikan bahwa sebagian
besar responden menjawab sebagai berikut :
1. Tidak seimbangnya antara Penyampaian Teori dan Praktik Lapangan sejumlah
158 orang (48,9persen)
2. Tugas Praktik Lapangan Kurang Diperhatikan, sejumlah 147 orang
(45,5persen)
3. Materi Kurang Mengarah Pada Pengembangan Usaha Kopontren sejumlah
115 orang (35,5persen).5. Aspek Penyelenggaraan Pelatihan
Menurut responden dari kalangan pesantren, penyelenggara pelatihan koperasi
yang pernah mereka ikuti adalah : Dinas Koperasi tingkat Provinsi, Balatkop, Pemda
Provinsi, Kementerian KUKM, LSM, Perguruan Tingi dan Pengurus Kopontren itu sendiri.
Berdasarkan sebaran data yang diperoleh dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Dilaksanakan oleh Balatkop, sejumlah 146 orang (45,2 persen)
2. Dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kotamadya, sejumlah 131 orang (40,6
persen)
6. Aspek Penyelenggaraan Pelatihan Terbaik
Intensitas jawaban responden dalam menjawab penyelenggara pelatihan terbaik
dapat dinarasikan sebagai berikut :
1. Dilaksanakan oleh Balatkop, sejumlah 162 orang (50,2 persen)
2. Dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kotamadya, sejumlah 65 orang (20,1
persen)
6. Aspek Dampak Pelatihan
Dampak pelatihan bagi Kopontren dapat dinilai oleh responden dari sisi
pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang paling terlaksana dengan lebih baik di
lingkungan Kopontren. Dari hasil penilaian ini ternyata sebagian besar responden
menjawab :
1. Pengelolaan Usaha Simpan Pinjam menjadi lebih baik, sejumlah 113 orang
(35 persen).
2. Pengelolaan Administrasi/Tata Usaha Kopontren menjadi lebih baik, sejumlah
63 orang (19,5 persen).
7. Aspek Saran dan Harapan Terhadap Pelatihan
Dari hasil penelitian ini diperoleh rata-rata terbesar jawaban responden yang
menilai bahwa pihak yang dianggap mampu meningkatkan keterampilan dan
pengembangan bagi Kopontren adalah yang dilaksanakan dalam bentuk kerjasama
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Otonomi Daerah setempat. Sedangkan
dari sisi penyelenggara diklat non pemerintah sejumlah 216 orang (66,9 persen) memberi
jawaban bahwa yang diharapkan memberikan pelatihan bagi Kopontren adalah Dekopin
dan Perguruan Tinggi (83 orang atau 25,7 persen). Terkait dengan Program Pelatihan,
tanggapan responden terhadap perbaikan atau penyempurnaan yang perlu diantisipasi
adalah sebagai berikut.
1. Mutu Pelatih, dari sejumlah 164 responden (50,8 persen)
2. Uang Saku Pelatihan, sejumlah 161 orang (49,8 persen)
3. Anggaran Biaya, sejumlah 154 orang (47,7 persen)
4. Kurikulum Pelatihan, sejumlah 140 orang (44 persen)
5. Metode pelatihan, sejumlah 140 orang (43,3 persen)
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006
6. Kelengkapan Peralatan Pelatihan, sejumlah 130 orang (40,2 persen)
7. Bahan-bahan Pelatihan, 109 orang (33,7 persen)
8. Waktu Pelatihan, 105 orang (32,5 persen)
Mengenai waktu atau lama pelaksanaan Diklat bagi Kopontren, rata-rata responden
(147 orang atau 45,5 persen) menjawab lama pelaksanaan pelatihan yang efektif dan
diinginkan adalah tidak lebih dari tujuh hari (1 minggu).
8. Analisis Hubungan antara Input Pelatihan dengan Hasil Pelatihan Ditinjau
dari Kinerja Kopontren
Pengukuran dilakukan dengan probabilitas uji Chi-Square dan hasil uji
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan
kinerja Kopontren. Input pelatihan dimaksud adalah materi, metode, teori, praktek
lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi yang berhubungan dengan kemampuan peserta,
mudah menyelesaikan tugas dan tanggungjawab serta menyesuaikan diri dengan
lingkungan usaha Kopontren, berinteraksi dengan lingkungan pekerjaan, koordinasi
dengan Kopontren atau instansi lain.
Tingkat Keeratan Hubungan Input Pelatihan dengan Hasil Pelatihan dari segi
kinerja Kopontren, diperoleh dari nilai koefisien kontingensi diantara dua variabel sebesar
0,476 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan yang
cukup/sedang, pada tingkat keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan ini
menyatakan bahwa kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai 0,476
adalah sebesar 99,99 persen.
Analisis Hubungan Antara Input Pelatihan dengan Pengetahuan Perkoperasian
Pasca Pelatihan, dilakukan melalui uji Chi-Square. Hasil analisis menyajikan kesimpulan
bahwa terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan pengetahuan
Perkoperasian Responden Pasca Pelatihan. Artinya, materi, metode, teori, praktek
lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi berhubungan dengan pengelolalan usaha jasa dan
barang, simpan pinjam, penjualan/pemasaran pengelolaan bahan baku, pendidikan dan
latihan anggota Kopontren, administrasi dan tata usaha, pengelolaan tehnik produksi,
keuangan dan pergudangan.
Tingkat keeratan kedua variabel tersebut diperoleh dari nilai koefisien kontingensi
sebesar 0,459 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan
yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan
ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,459 adalah 99,99 persen.
Analisis Hubungan Antara Input Pelatihan dengan Sosialisasi Pengetahuan
Perkoperasian Pasca Pelatihan, berakhir pada kesimpulan bahwa tidak terdapat
hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan Sosialisasi Responden terhadap
Pengetahuan Perkoperasian yang telah diterima. Artinya materi, Metode, Teori, Praktek
Lapangan, sarana dan Prasarana Pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi tidak berpengaruh terhadap upaya penerapan hasil
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006
pelatihan perkoperasian bagi warga pesantren lainnya.
Tingkat keeratan kedua variabel ini diperoleh dari nilai koefisien kontingensi yakni
sebesar 0,309 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan
yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,456. Tingkat keberlakuan
ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,456 adalah 54,4 persen.
Analisis Input Pelatihan Dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat (kemitraan
Koperasi) memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara input yang diterima
dengan Partisipasi Masyarakat terhadap Kopontren (Kemitraan Kopontren). Artinya
materi, metode, teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format
pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi berpengaruh nyata terhadap
upaya perluasan mitra kerja usaha (partisipasi masyarakat) Kopontren.
Tingkat keeratan hubungan kedua variabel ditunjukkan oleh nilai koefisien
kontingensi sebesar 0,015 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat
kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,015. Tingkat
keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan
nilai sebesar 0,015 adalah 98,5 persen.
Analisis Hubungan Input Pelatihan dengan Proses Belajar Mengajar
menyimpulkan adanya hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan proses
belajar mengajar selama pelatihan perkoperasian berlangsung. Artinya materi, metode,
teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan
dan pengembangan wacana koperasi berpengaruh terhadap kesempurnaan proses belajar
mengajar yang dialami peserta selama pelatihan berlangsung (training on going process).
Pada tingkat keeratan kedua variabel tersebut, nilai koefisien kontingensi dari
pengujian dua variabel adalah sebesar 0,710 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar
0,001. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan
hubungan dengan nilai sebesar 0,000 adalah 99,99 persen.
Analisis Hubungan antara Input Pelatihan dengan Pembinaan Hasil Pelatihan
kesimpulan bahwa Tidak ada hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan
pembinaan hasil pelatihan perkoperasian yang ada. Artinya materi, metode, teori, praktek
lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi tidak gigih mengupayakan pembinaan hasil pelatihan
bagi peserta dan Kopontren. Dengan kata lain tidak ada upaya untuk melakukan
penyuntikan modal usaha bagi Kopontren yang mengalami kesulitan, pembinaan mutu
hasil usaha, jaringan pemasaran dan kedisiplinan.
Pada tingkat keeratan kedua variabel tersebut, nilai koefisien kontingensi dari
pengujian dua variabel adalah sebesar 0,628 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar
0,053. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan
hubungan dengan nilai sebesar 0,628 adalah 94,7 persen.
Analisis terhadap hubungan antara Input Pelatihan dengan Sikap Untuk Pelatihan
Mendatang, memberikan suatu kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara input
pelatihan yang diterima dengan sikap untuk pelatihan perkoperasian mendatang. Artinya
materi, metode, teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006
pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi tidak memiliki perbedaan
yang mendasar diantara sesama responden dari pelbagai pihak tentang memandang
urgennya pelatihan sejenis dilanjutkan untuk masa yang akan datang. Dengan kata
lain umumnya responden memandang pelatihan perkoperasian masih perlu dilanjutkan
dengan banyak perbaikan.
Adapun nilai koefisien kontingensi yang menjadi indikator tingkat keeratan kedua
variabel tersebut adalah sebesar 0,264 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang rendah, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,310.
Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan
dengan nilai sebesar 0,264 adalah 69 persen pada populasi responden penelitian.
Dilihat dari hubungan variabel-variabel dan tingkat ketepatan hipotesis tersbut,
terdapat makna bahwa input tercapai manakala peserta, pelatih, materi sesuai dengan
persyaratan kompetensi dasar. Sementara itu proses akan menopang program apabila
metode, alat bantu (media), penggunaan waktu serta sarana relevan. Output melukiskan
penguasaan pengetahuan dari peserta pelatihan. Outcome diperlihatkan oleh
keterampilan peserta mengelola pesantren, impact terlihat dari perkembangannya dan
peningkatan peran masyarakat sekitar terhadap kehidupan koperasi.
Dalam Penyusunan Program sebaiknya terlebih dahulu diselenggarakan semiloka
bersama stakeholder (Kopontren) dan perguruan tinggi terkait sehingga program
menyentuh kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelatihan (Bottom up oriented).
Tempat pelatihan sebaiknya diadakan secara bergilir di pesantren-pesantren yang
memiliki Kopontren dengan perkembangan positif dan memiliki fasilitas untuk penginapan
bagi sejumlah peserta. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan Diklat tidak terkesan
terlalu formal dan penuh keakraban. Di sisi lain pendekatan tersebut memungkinan
pengenalan dari dekat terhadap kegiatan Kopontren setempat sehingga dapat menjadi
pendorongan serta acuan bagi peserta dari Pesantren lain.
Bagi peserta pelatihan yang berprestasi hendaknya diberikan semacam rewards
seperti pembinaan dan bantuan untuk pemupukan modal usaha serta perluasan jaringan
kemitran dan pemasaran. Pelatihan perkoperasian memerlukan perbaikan program
pelatihan dengan fokus pada perbaikan kurikulum pelatihan, mutu atau kopotensi pelatih/
instruktur, serta rentang waktu pelatihan sekitar tujuh hari (satu minggu). Pihak
Kementerian KUKM hendaknya mensponsori efektifitas jaringan keorganisasian
Koponntren, sehingga terdapat peluang untuk meningkatkan sinergi pengembangan
Kopontren dengan saling memberi informasi tentang potensi pengembangan masing masing
anggota.

JURNAL EKONOMI KOPERASI 1

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I - 2006

 REVIEW 1

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN
PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN*

Abstract

This study was conducted in the province of West Java and East Java
pertaining with the progress of Islamic Boarding School for Cooperatives after
implementing the training and education program. This article is briefly
exploring the effectiveness of cooperative training and education
program.Some weakneses were found during the study and several serious
action to overcome. But the study also revealed many interesting facts that
could be used in empowering the cooperatives in the specific circumstances.Sejalan dengan itu, Kementerian KUKM memberikan atensi yang sama kepada
bentuk koperasi lainnya melalui penyelenggaraan Diklat bagi beberapa Kopontren di
sekitar wilayah Bekasi dan Bogor. Program yang diterapkan bertujuan untuk
memperkokoh kapasitas internal Kopontren dalam melayani anggotanya yaitu para
santri dan masyarakat di sekitarnya. Setelah berjalan dalam kurun waktu tertentu,
dipandang perlu untuk mengamati dan mengevaluasi sejauhmana hasil diklat
diimplementasikan dalam pengelolaan organisasi Kopontren. Naskah ini menyajikan
ringkasan atas hasil kajian dimaksud.
I. Pendahuluan
Pondok Pesantren (Ponpes) adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua
di Indonesia, keberadaan dan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa telah
diakui oleh masyarakat. Dalam perkembangannya Pondok Pesantren berfungsi sebagai
pusat bimbingan dan pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh biddin) telah banyak
melahirkan ulama, tokoh masyarakat dan mubaligh. Seiring dengan laju pembangunan
dan tuntutan zaman serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Ponpes
telah melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan peran dan sekaligus
memberdayakan potensinya bagi kemaslahatan lingkungannya. Salah satu bentuk
adaptasi nyata yang telah dilaksanakan adalah pendirian koperasi di lingkungan Ponpes
dan dikenal dengan sebutan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Keberadaan
gerakan koperasi di kalangan pesantren sebenarnya bukanlah cerita baru, sebab pendiri
koperasi pertama di bumi Nusantara adalah Patih Wiriatmadja, seorang muslim yang
sadar dan menggunakan dana masjid untuk mengerakan usaha simpan pinjam dalam
menolong jamaah yang membutuhkan dana. Tumbuhnya gerakan koperasi di kalangan
santri merupakan salah satu bentuk perwujudan dari konsep ta’awun (saling menolong),
ukhuwah (persaudaraan), tholabul ilmi (menuntut ilmu) dan berbagai aspek ajaran Islam
lainnya.
Eksistensi Kopontren dapat ditinjau melalui tiga dimensi yaitu sebagai pendukung
mekanisme kehidupan ekonomi Ponpes, sebagai pembinaan kader koperasi pedesaan
dan sebagai stimulator sosio-ekonomi masyarakat desa di sekitar Ponpes. dewasa
ini, Kopontren telah berkembang dan menjadi semacam representasi lembaga ekonomi
santri yang diinisiasi secara bottom up dengan ciri kemandirian yang khas.

II. Dimensi Permasalahan
Berdasarkan hasil preliminary research ditemukan beberapa permasalahan
sebagai berikut.
1). Beberapa Kopontren belum menunjukkan perubahan kinerja dan keragaman
yang signifikan setelah mengikuti diklat.
2). Perluasan pangsa pasar belum berhasil dilakukan dan masih terbatas kepada
segment tertentu khususnya para santri di lingkungan sendiri.
3) Pengelolaan dan pertanggungjawaban dana anggota masih belum efektif dan
kurang transparan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pertanyaan pokok penelitian (Mayor
Research Question) adalah “Mengapa Kopontren yang sudah mengikuti Diklat
Perkoperasian belum secara maksimal dalam mengimplementasikan ilmu dan
pengetahuan yang didapat dari pelatihan?” Adapun pertanyaan khusus penelitian (Minor
Research Questions) adalah :
1). Bagaimana bentuk dan jenis program diklat yang dibutuhkan untuk pembinaan
Kopontren ?
2). Sejauh manakah efektivitas program diklat dalam menunjang pertumbuhan
Kopontren ?
3). Upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja Kopontren ?
4). Bagaimana pandangan warga masyarakat sekitar Pesantren terhadap
keberaadaan Kopontren ?
5). Apakah faktor-faktor keberhasilan maupun kegagalan dalam penyelenggaraan
Kopontren ?
III. Tujuan dan Manfaat Kajian
1. Tujuan Kajian
a. Mengevaluasi efektivitas pelaksanaan diklat perkoperasian di lingkungan
Kopontren;
b. Merumuskan model dan sistem evaluasi diklat perkoperasian yang ideal di
lingkungan Kopontren.2. Manfaat Kajian
Tersedianya bahan dan data tentang kondisi empirik Kopontren yang dapat digunakan
sebagai bahan perumusan kebijakan pembinaan Koperasi di lingkungan Ponpes.
IV. Lokasi Kajian
Berdasarkan peta penyelenggaraan Diklat Perkoperasian, maka lokasi kajian
ditetapkan di wilayah provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.
Teknik Pengumpulan Data
Data primer dihimpun melalui seperangkat instrumen (kuesioner) terstruktur dalam
bentuk interview guide dengan opsi tertutup dan terbuka, dan peluang argumentasi/alasan
responden atas setiap jawaban yang diberikannya.
Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Populasi dalam penelitian kajian evaluasi ini adalah Kopontren yang berlokasi di
wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat yang telah mengikuti program diklat dari Kementerian
KUKM. Adapun teknik penarikan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling
method). Hal ini didasarkan pada pertimbangan klasifikasi dan karakteristik Kopontren
yang antara lain adalah jenis usaha dan jumlah santri.